Social Icons

Minggu, 11 November 2012

Kita Belum Merdeka...

Kita Belum Merdeka...KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTAVeteran pejuang mengikuti upacara pengibaran bendera Merah Putih di atas Hotel Majapahit saat Parade Surabaya Juang, Minggu (11/11/2012), di Surabaya, Jawa Timur. Meski telah berusia lanjut, veteran tersebut tetap bersemangat mengikuti parade yang diselenggarakan dalam rangka Hari Pahlawan.
KOMPAS.com - Dalam diskusi yang membahas buku Intelijen karya Hario Kecik di Rumah Ganeca, Rabu (7/11), sejarawan Anhar Gonggong menyebut bahwa perang kemerdekaan setelah 17 Agustus 1945 adalah perang yang dipaksakan Belanda pada Indonesia. Saat itu Indonesia harus mempertahankan diri sebagai bangsa dan negara. Sepanjang sejarah hidupnya bangsa Indonesia terjajah, mulai dari penjajahan feodal, dilanjutkan Belanda, hingga dibumbui kerja sama keduanya.
”Celakanya, penguasa kita juga masih berpikir seperti itu. Kita belum sepenuhnya merdeka,” kata Anhar yang mengundang perhatian sekitar 30 peserta diskusi yang digagas Penerbit Abiseka Dipantara, Yogyakarta, ini.
Anhar memaparkan, sebagian besar bangsa Indonesia, dan ini terlihat dari watak penguasanya, belum mengerti untuk apa Indonesia merdeka. Ketidakpahaman ini muncul dalam bentuk fakta bahwa selama 67 tahun merdeka kita belum pernah berhenti berkonflik di dalam, bahkan belakangan ini semakin parah. ”Kita tidak paham arti kemerdekaan,” kata Anhar.
Hal ini langsung ditimpali dengan bersemangat oleh Mayjen (Purn) Saurip Kadi. Saurip mengatakan, kalau dilihat secara jujur, pada tahun 1945 masa penjajahan teritorial sebenarnya sudah berakhir. Namun, kemudian peradaban masuk ke dalam penjajahan ekonomi dan mata uang. Dilihat dari persepsi ini, bangsa Indonesia belum punya kedaulatan ekonomi.
Hal senada dikatakan pengajar di Universitas Indonesia, Edy Prasetyono tentang dikuasainya aset-aset strategis negara oleh asing, bahkan industri tambang dan pertanian yang menyangkut kelangsungan hidup bangsa. ”Di negara mana pun, sektor pertanian dan ekstraktif tidak akan diberikan ke asing. Intelijen ekonomi kita harus main juga,” katanya.
Berbagai salah kaprah yang belakangan ini muncul pun menjadi bahan diskusi, mulai dari definisi empat pilar kebangsaan hingga peran TNI yang seharusnya menjadi alat negara. TNI, yang kini justru menjadi alat pemerintah, kerap harus berhadapan dengan rakyat.
Edy mengatakan pentingnya intelijen di Indonesia yang didefinisikan sempit, yaitu terkait pertahanan. Padahal, pertarungan yang terjadi saat ini adalah dalam bidang ekonomi bahkan budaya. ”Seorang atase asing pernah bercerita, melakukan penelitian antropologi tentang bahasa-bahasa daerah yang sudah musnah. Itu akan mereka gunakan sebagai bahasa komunikasi intelijen,” cerita Edy.
Cerita Hario Kecik menggambarkan betapa pertempuran 10 November total dilakukan rakyat. Tanpa komando, tanpa pemimpin. Bahkan, gerakan rakyat saat itu mengejutkan Bung Karno dan Pemerintah RI di Jakarta. Jadi, kemerdekaan itu milik rakyat dan jangan ada yang merasa paling berjasa.
Anhar menutup presentasinya dengan definisi tentang pahlawan. Apa itu pahlawan? ”Pahlawan adalah orang yang mampu melampaui dirinya. Ia sudah selesai dengan dirinya. Itu yang sekarang tidak ada,” kata Anhar. (Edna C Pattisina)

 
Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar