Social Icons

Minggu, 10 Maret 2013

Ingin Panjang Umur? Batasi Daging yang Diproses

Sosis, ham, daging asap, dan daging olahan lainnya sebaiknya mulai Anda kurangi konsumsinya. Menurut studi terbaru, kebiasaan mengasup daging olahan tersebut berkontribusi pada kematian di usia muda.

Dalam laporan yang dimuat dalam jurnal BMC Medicine para peneliti menyimpulkan bahwa daging yang diproses terkait erat dengan penyakit kardiovaskular, kanker, dan kematian di usia muda.

Yang perlu diwaspadai dari daging olahan tersebut adalah penggunaan garam yang tinggi serta bahan-bahan kimia sebagai pengawet.

Penelitian mengenai efek diet tinggi daging olahan tersebut dilakukan dengan mengikuti orang dari 10 negara selama hampir 13 tahun.

Mereka yang mengonsumsi lebih dari 160 gram (setara dengan dua sosis dan satu iris daging babi asap) daging yang diproses setiap hari, risiko kematiannya pada kurun waktu 13 tahun 44 persen lebih besar dibanding dengan mereka yang hanya makan 20 gram daging olahan.

"Mereka yang hobi mengonsumsi daging, terutama daging yang diproses, biasanya juga memiliki gaya hidup kurang sehat," kata Prof.Sabine Rohrmann dari Universitas Zurich.

Memang orang-orang dalam penelitian tersebut selain suka makan daging olahan umumnya juga merokok, obesitas, dan punya gaya hidup buruk lainnya.

"Berhenti merokok sebenarnya lebih penting daripada mengurangi daging. Tetapi saya tetap merekomendasikan orang untuk mulai membatasi konsumsi daging olahan," katanya.

Penelitian sebelumnya juga pernah mengaitkan antara daging yang diproses, seperti daging asap, burger, atau hot dog, meningkatkan risiko kanker usus.

Dr.Rachel Thompson dari World Cancer Research Fund menyebutkan, sekitar 4000 kasus kanker usus bisa dicegah jika konsumen membatasi asupan daging olahan kurang dari 10 gram setiap hari.

Kendati begitu daging tetap disarankan untuk dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehat dan seimbang. Selain daging merah, sumber protein yang baik lainnya adalah daging ayam, ikan, serta kacang-kacangan.



Sumber :
»»  READMORE...

5 Alasan Mengapa Takut ke Dokter Gigi






Tak sedikit orang yang menganggap kunjungan ke dokter gigi sebagai teror yang mengerikan. Padahal, rutin ke dokter gigi sangat penting untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut.

Mengabaikan jadwal kunjungan rutin ke dokter gigi sebenarnya bisa merugikan. "Kita menggunakan gigi berulang kali sejak pagi sampai malam, setiap hari. Karenanya memeriksakan gigi dua kali setahun bisa mencegah kerusakan gigi," kata Jennifer K.Shin, dokter gigi di New York.

Setiap keluhan dan gangguan pada gigi yang ditemukan sejak awal akan membuat solusi yang diberikan lebih mudah, cepat, dan tentu saja murah.

Ketahui apa saja yang menjadi alasan mengapa orang malas ke dokter gigi.

- Biaya
Biaya yang mahal menjadi faktor utama orang mengabaikan kunjungan rutin ke dokter gigi. Survei di AS bahkan menyebutkan 44 persen orang tidak ke dokter gigi karena tak punya asuransi kesehatan gigi.

"Faktanya, jika kita merawat gigi dengan baik, kunjungan ke dokter gigi tak harus mahal," kata John Dodes, dokter gigi dan penulis buku Healthy Teeth: A User's Guide.

- Kecemasan
Kebanyakan orang dikuasai kecemasan sehingga takut memeriksakan giginya. Untuk meningkatkan emosi positif, carilah dokter gigi yang ramah. Pengalaman buruk di masa lalu juga menjadi hambatan tersendiri. Komunikasi yang baik dengan pasien bisa membantu mengurangi rasa takut Anda.

- Takut diperlukan perawatan
Banyak pasien yang takut memeriksakan giginya karena khawatir dokter akan menemukan masalah gigi lainnya sehingga diperlukan perawatan lanjutan.

- Takut sakit
Selain takut dengan perawatan gigi, banyak orang takut akan rasa sakit. Padahal saat ini sudah tersedia berbagai metode perawatan gigi yang minim rasa nyeri.

- Sibuk dan malas
Terkadang, seseorang begitu sibuk melakukan berbagai hal sehingga tak bisa meluangkan waktu untuk datang ke klinik gigi. Jika kunjungan ke dokter gigi bukan salah satu rutinitas kita, maka akan lebih sulit untuk membiasakan diri.



Sumber :
»»  READMORE...

Gangguan Obsesif Kompulsif pada Ibu Baru






Setiap ibu baru sering mengalami kekhawatiran terhadap bayinya. Sayangnya, kekhawatiran tersebut kerap berlebihan. Misalnya, apakah si kecil bernapas dengan baik, takut ia terjatuh dari tempat tidur, atau takut bayi jatuh saat digendong orang lain.

Karena itu ibu baru dianggap punya kecenderungan mengalami gangguan kepribadian obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder/OCD). Kondisi tersebut bisa membuat seseorang menjadi mudah resah.

Yang dimaksud dengan obsesi adalah keterpakuan pada pikiran yang terus berulang dan tak dapat dikendalikan (misalnya terus membayangkan perilaku pacar dan mantannya).

Adapun kompulsif adalah tingkah laku yang repetitif dan dianggap harus dilakukan. Pada ibu baru, bentuknya adalah  berulang kali mengecek kondisi si bayi.

Dalam penelitian terbaru yang dimuat dalam Journal of Reproductive Medicine, Dr.Dana Gossett dan timnya melaporkan penelitian bahwa seorang ibu yang baru melahirkan cenderung mengalami OCD dalam skala ringan sampai moderat.

Gangguan OCD tersebut dialami sekitar 11 persen ibu pada periode dua minggu sampai enam bulan setelah melahirkan. Jumlah tersebut dianggap sangat besar dibandingkan dengan populasi umum yang hanya sekitar 2-3 persen.

Seorang ibu dianggap memiliki gejala OCD bila mereka terus-menerus mengalami pikiran yang mengganggu, misalnya takut anaknya terluka atau khawatir infeksi bakteri, perilaku kompulsif seperti berulang kali mengecek kondisi bayi atau harus mencuci botol berulang kali agar yakin botol susu sudah steril.

"Dorongan yang timbul dari pikiran tersebut diharapkan akan mengusir kecemasan. Misalnya, mereka merasa jika kita mencuci tangan kita berulang kali dengan sabun maka bayi tidak akan terinfeksi sehingga ia tak sakit lalu meninggal," kata Gossett.

Memang sejauh ini belum ada ibu baru yang secara klinis didiagnosa OCD. Hasil studi yang dilakukan Gossett tersebut hanya berdasarkan data pengakuan dari 461 ibu yang baru melahirkan 2 minggu lalu dan diwawancara 6 bulan kemudian.

Kabar baiknya, pada separuh ibu gejala OCD tersebut akan menghilang dalam waktu 6 bulan setelah persalinan. Namun pada sisanya gejalanya tetap berlanjut dan sekitar 5 persen mengembangkan gejala baru.


Gangguan kepribadian OCD jelas memengaruhi kehidupan sehari-hari. Para ibu yang dilanda kecemasan akan keselamatan bayinya tentu tak tenang meninggalkan bayinya sendirian atau menghabiskan waktunya untuk mengecek bayinya.

"Selain mengganggu rutinitas, hal itu juga menimbulkan stres emosional sehingga si ibu tidak sempat memikirkan dirinya sendiri," katanya.

Perubahan hormonal dan biologis diduga kuat berpengaruh pada timbulnya gejala OCD pada ibu yang baru melahirkan. Sekitar 70 persen ibu yang terlibat dalam penelitian ini juga menderita depresi pasca melahirkan.

Para ahli mengatakan OCD pasca melahirkan mungkin merupakan bentuk reaksi psikologis pada tanggung jawab baru yang dimiliki ibu dengan adanya bayi.

Kabar baiknya oCD pasca melahirkan bisa diatasi. Dukungan dari seluruh anggota keluarga dalam perawatan bayi juga bisa membantu mengurangi kecemasan.




Sumber :
msnbc
»»  READMORE...

Rabu, 06 Maret 2013

Bakteri "Mimpi Buruk" Menyebar di RS Amerika

Bakteri yang diberi julukan "mimpi buruk" karena kebal pada antibiotik serta membunuh separuh dari yang terinfeksi menyebar di hampir 200 rumah sakit dan panti jompo di Amerika Serikat.

Menurut pusat pencegahan dan pengendalian penyakit AS (FDA), sekitar empat persen rumah sakit dan 18 persen panti jompo telah mengobati sedikitnya satu pasien yang terinfeksi bakteri Carbapenem Resistant Enterbacteriaceae (CRE) pada kurun waktu 6 bulan pertama di tahun 2012.

"CRE adalah bakteri mimpi buruk. Antibiotik yang paling kuat pun tidak mempan dan pasien terkena infeksi yang sulit diobati. Dokter, rumah sakit, dan pejabat kesehatan harus bekerja sama untuk melaksakanan strategi deteksi dan pencegahan infeksi," kata Dr Thomas Frieden.

Meski begitu, menurut Frieden, saat ini ada kesempatan untuk mencegah penyebaran bakteri tersebut. "Kita hanya memiliki kesempatan terbatas untuk menghentikan infeksi ini dari penyebaran di komunitas dan menyebar ke organisme lainnya," katanya.

CRE terdapat dalam famili lebih dari 70 bakteri yang disebut enterobacteriaceae, termasuk Klebsiella pneumoniae dan E coli, yang lazimnya hidup di saluran pencernaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa jenis bakteri tersebut menjadi kebal pada antibiotik generasi terbaru yang dikenal sebagai carbepenems.

Para ahli mengaku khawatir dengan cepatnya penyebaran bakteri ini yang tentu membahayakan hidup pasien dan orang sehat. Misalnya saja, dalam 10 tahun, CDC menemukan satu CRE dari tempat pelayanan kesehatan yang sama dengan tempat lain di 42 negara bagian.

"Sangat mengkhawatirkan jika bakteri ini resistan karena kelompok bakteri tersebut sangat umum," kata Dr Marc Siegel, dari NYU Langone Medical Center.

Kebanyakan pasien yang terinfeksi CRE adalah mereka yang tinggal lama di rumah sakit atau panti jompo. Bakteri ini menginfeksi sirkulasi darah pasien dan dengan mudah menyebar antarpasien lewat tangan para petugas kesehatan. Selain itu, bakteri ini juga mentransfer kekebalan mereka terhadap antibiotik kepada bakteri lain dalam tipe yang sama.

Menurut Siegel, masalah tersebut berawal dari penggunaan berlebihan antibiotik. "Yang diperlukan untuk mengatasi kondisi ini adalah antibiotik generasi baru, tetapi perusahaan farmasi tidak berminat mengembangkannya," katanya.


Sumber :
Healthday News
»»  READMORE...

Jam Biologis Lambat Penyebab Sulit Bangun Pagi






Bangun pagi memang bukan perkara mudah bagi sebagian besar orang. Tetapi ada orang-orang tertentu yang sangat sulit tidur cepat sehingga berefek selalu terlambat bangun pagi. Jam biologis yang lebih lambat bisa jadi penyebabnya.

Sekitar 15 persen remaja mengalami kesulitan bangun pagi. Tetapi kondisi tersebut ternyata bisa bertahan seumur hidup.

Tim peneliti dari Adelaide, Australia, melakukan penelitian mengenai gangguan tidur lebih lambat tersebut. Pada orang yang memiliki gangguan itu, secara persisten mereka lebih lama tertidur di malam hari dan kesulitan bangun pagi.

Menurut ketua peneliti, Leon Lack, jam biologis orang dengan gangguan tidur tersebut ternyata berjalan lebih lambat dibanding orang pada umumnya.

"Orang yang ngantuknya terlambat itu baru bisa tertidur jam 2-3 pagi dan selambatnya jam 4 pagi. Sehingga sangat sulit bagi mereka untuk bangun pagi esoknya,"kata Lack.

Lack menjelaskan, kebanyakan orang memiliki jam biologis 24 jam yang mengontrol kapan harus tidur dan bangun, serta mengatur temperatur tubuh. Tetapi pada orang yang memang sulit tidur dalam jam normal, jam biologisnya butuh waktu lebih lama untuk melengkapi siklus tersebut. Akibatnya rasa kantuk mereka baru datang pada dini hari.

Jam biologis atau kerap disebut irama sirkadian tubuh dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti cahaya matahari. Itu sebabnya mengapa orang yang bepergian melewati zona waktu atau orang yang kerja giliran malam kerap mengalami gangguan tidur.

Paparan sinar yang terang di pagi hari menurut Lack akan membantu jam biologis tubuh untuk bangun sehingga mereka bisa tidur lebih cepat di malam hari.

Sumber :
»»  READMORE...

7 Cara Prediksi Usia Harapan Hidup Lansia






Kendati manusia tidak bisa mempredeksi hidup dan mati seseorang, namun sebenarnya ada beberapa faktor yang bisa menjadi prediktor apakah seseorang akan sehat atau gampang terkena penyakit.

Tim peneliti dari Universitas California, San Francisco, AS, mencoba mengembangkan prediktor harapan hidup orang yang sudah berusia di atas 50 tahun pada periode 10 tahun mendatang. Prediktor tersebut dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association.

Berikut adalah 7 faktor yang bisa menjadi acuan untuk mengetahui harapan hidup seseorang yang berusia di atas 50 tahun dalam periode 10 tahun mendatang.

1. Usia dan jenis kelamin
Sudah jelas, makin banyak usia makin besar risiko kematiannya dalam 10 tahun mendatang. Karena usia kaum wanita umumnya 7 tahun lebih panjang dari pria, maka berjenis kelamin pria menjadi salah satu faktor risiko kematian yang sulit diubah.

2. Kebiasaan merokok
Para partisipan studi yang saat ini masih merokok memiliki risiko kematian lebih besar. Tetapi kabar baiknya, tak ada kata terlambat untuk berhenti merokok dan merasakan manfaatnya bagi kesehatan. Malah, dalam 8 jam setelah Anda berhenti merokok kadar karbon monooksida dan oksigen dalam darah kembali normal. Setelah beberapa hari, risiko kematian akibat serangan jantung juga berkurang.

3. Indeks massa tubuh
Orang yang tergolong obesitas memiliki risiko kematian lebih besar. Obesitas terkait erat dengan penyakit diabetes melitus, kanker, atau penyakit jantung.

4. Diabetes dan penyakit jantung
Kedua penyakit tersebut berdampak besar pada kesehatan. Orang yang menderita diabetes beresiko dua kali lipat meninggal karena serangan jantung. Sementara itu penyakit gagal jantung menurunkan kualitas hidup karena membuat penderitanya lebih rentan terkena osteoporosis, penyumbatan darah, serta demensia.

5. Penyakit kanker kulit dan paru kronik
Kanker adalah penyebab kematian kedua terbesar di AS setelah serangan jantung. Penyakit paru kronik (COPD) berada di urutan ketiga. Sementara itu dari seluruh jenis kanker, kanker paru merupakan pembunuh utama.

6. Sulit mengatur keuangan
Orang lanjut usia yang punya kesulitan dalam mengatur keuangannya biasanya adalah pertanda ia mengalami gangguan kognitif ringan. Kesulitan melakukan perencanaan dan membuat keputusan juga menjadi pertanda penurunan kemampuan kognitif seseorang.

7. Kesulitan melakukan aktivitas fisik
Para lansia yang sulit melakukan berbagai aktivitas fisik harian seperti mandi, berjalan, atau memegang benda, lebih beresiko mengalami kematian dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.

Sumber :
Everyday Health
»»  READMORE...

Jangan Abaikan Kesehatan Telinga






Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti menyatakan, kasadaran masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan telinga masih perlu ditingkatkan. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian terkait gangguan pendengaran adalah ancaman akibat paparan bising, infeksi serta sumbatan kotoran telinga yang banyak ditemukan pada anak usia sekolah.

Ghufron menyatakan hal tersebut dalam seminar "Pendengaran Sehat untuk Hidup Bahagia" di Jakarta, Rabu (6/3/2013), dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP) Sedunia yang jatuh pada 3 Maret lalu.
   
Ghufron mengakui, sosialisasi mengenai kesehatan pendengaran perlu ditingkatkan, misalnya informasi tentang batasan kebisingan yang masih dapat ditoleransi indera pendengaran. "Misalnya kalau kita mendengarkan musik dengan kekuatan kurang dari 90 desibel, itu amannya maksimum dua jam. Kalau keras hingga 120 desibel, itu enggak boleh lebih dari 10 detik. Yang aman itu adalah kurang dari 80 desibel," paparnya.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 5,3 persen populasi dunia mengalami gangguan cacat pendengaran atau sekitar 360 juta orang, dengan 328 juta (91 persen) di antaranya orang dewasa dan 32 juta (9 persen) adalah anak-anak.  Di Indonesia, jumlah penderita gangguan pendengaran diperkirakan mencapai sekitar 9,6 juta orang.

Wamenkes juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai masalah sumbatan kotoran telinga pada sebagian besar anak sekolah, karena dapat mengganggu proses belajar. "Gangguan sumbatan kotoran telinga atau serumen prop banyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah. Sumbatan serumen dapat mengakibatkan gangguan pendengaran sehingga akan mengganggu proses penyerapan pelajaran bagi anak sekolah," kata Ghufron.

Berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh Profesi Perhati dan Departemen Mata FKUI di beberapa sekolah di enam kota di Indonesia, prevalensi serumen prop pada anak sekolah cukup tinggi yaitu antara 30-50 persen.

Wamenkes menekankan, hal tersebut akan sangat mengganggu proses belajar sehingga perlu dilakukan penanggulangan bersama.

"Mari kita jaga kesehatan pendengaran dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat serta menghindari gangguan pendengaran dari kebisingan serta melakukan pemeriksaan atau deteksi dini adanya gangguan pendengaran," kata Ghufron.

Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran Sedunia diperingati tiap tanggal 3 Maret untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran.  Penetapan tanggal 3 Maret itu dilakukan pada tahun 2007 pada konferensi internasional pertama tentang pencegahan dan rehabilitasi gangguan pendengaran yang diselenggarakan di Beijing, China oleh Pusat Penelitian Rehabilitasi Anak Tuna Rungu Cina, Federasi Orang Cacat Beijing dan WHO. Selain itu, tanggal 3 Maret dipilih karena bentuk angka 3 yang menggambarkan atau mirip dengan bentuk telinga.
 



Sumber :
ANT
»»  READMORE...