Kompas
Nugroho Widiasmadi
Oleh AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
KOMPAS.com
- Nugroho Widiasmadi (46) mengawali penelitiannya dengan pertanyaan
sederhana. Bagaimana agar petani mandiri dan tidak bergantung pada pupuk
atau pakan pabrikan yang harganya kerap tak menguntungkan petani?
Ternyata, ia menemukan jawabannya pada mikroorganisme agresif yang
berinang pada tanaman alfaafa (”Medicago sativa”).
Namun, jawaban
itu tidak diperolehnya secara instan. Nugroho memulainya sejak 1998
ketika mengerjakan proyek pembuatan saluran irigasi di perkebunan
alfaafa di Taiwan. Sejak itu, tahun-tahun penuh perjuangan mewarnai
kegagalan demi kegagalan upayanya.
Nugroho bekerja keras
mengupayakan tanaman subtropis itu agar dapat hidup dan berkembang di
iklim tropis, khususnya di Indonesia. Ia menjaga iklim mikro di tanah
dengan sistem irigasi menggunakan metode interflow.
Berkali-kali
tanaman alfaafa yang dibawanya dari Iran mati karena perbedaan iklim,
cuaca, air, dan tanah. Namun, akhirnya tanaman itu dapat tumbuh stabil
pada 2007.
Tanaman yang di negara asalnya disebut bapak segala
tanaman itu pun dapat tumbuh di lingkungan tropis dengan stabil. Bahkan,
kandungan proteinnya bisa lebih tinggi setelah ditanam di Indonesia.
Indukan alfaafa memiliki kandungan protein 15 persen, sementara anakan
yang dihasilkan Nugroho mengandung protein hingga 35 persen.
”Di
Indonesia, proteinnya menjadi lebih tinggi karena pengaruh sinar
matahari yang berlimpah. Sekarang, bibit alfaafa dapat ditanam di mana
saja tanpa diperlukan perlakuan khusus,” kata Nugroho.
Tanaman
itu bisa memiliki kandungan protein sedemikian besar karena adanya
bakteri Rhizobium pada tanaman alfaafa yang berinang pada akarnya.
Alfaafa memiliki akar tunggang yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter
dan juga akar serabut.
Nugroho menemukan, kinerja bakteri itu
begitu mengagumkan. Ia, seperti halnya Rhizobium pada kedelai, mengikat
nitrogen bebas di udara. Bedanya, Rhizobium alfaafa mengikat nitrogen
hanya dalam waktu empat detik.
Riset pun dilanjutkan dengan
memanfaatkan bakteri tersebut. Nugroho coba menggabungkan Rhizobium
alfaafa dengan bakteri pada rumen sapi, yaitu bakteria selulolitik,
proteolitik, dan amilolitik. Dari kombinasi tersebut, Nugroho memperoleh
formasi bakteri yang mampu merombak material organik dengan sangat
cepat, yang kemudian dinamakan Microbacter Alfaafa-11 (MA-11).
Mikroorganisme
ini mampu menjadi dekomposer yang sangat andal. Ia bisa memecah dinding
lignin yang menyelubungi kandungan gizi yang ada pada tanaman, yang
selama ini sulit dirombak. Hasilnya, semua limbah pertanian yang
difermentasi dengan bakteri ini memiliki kandungan gizi yang melesat
jauh dibandingkan sebelumnya.
Sebut saja jerami, eceng gondok,
ampas teh, bonggol jagung, ampas tahu, hingga ampas singkong yang
kandungan protein awalnya rendah, bisa meningkat tiga hingga 10 kali
lipat dalam kurun waktu 24 jam. Jerami, misalnya, yang pada awalnya
mengandung protein 0,8 persen, setelah difermentasi sehari semalam,
proteinnya naik hingga 8,0 persen.
”Dengan demikian, biaya yang
dikeluarkan petani jauh lebih murah ketimbang membeli pakan pabrikan.
Petani dapat memanfaatkan limbah pertanian yang ada menjadi pakan ternak
yang gizinya setara dengan pakan pabrikan,” ujar Nugroho.
Tidak
hanya pakan, pupuk juga bisa dibuat dengan memfermentasikan tanaman atau
kotoran hewan. Hasilnya, padi yang diberi pupuk organik dari hasil
fermentasi dengan MA-11, ditemukan tidak mengandung bahan kimia dan
bakteri berbahaya sedikit pun.
Bahkan, dengan mengolah singkong
menjadi pakan, petani dapat memperoleh pupuk cair dan bioetanol
sekaligus. Bioetanol yang dihasilkan memiliki oktan hingga 117, jauh
lebih tinggi dibandingkan Pertamax yang beroktan 98.
Sejauh ini,
Nugroho hanya menjual MA-11 langsung kepada petani dengan harga Rp
50.000 per botol berukuran satu liter. Dia tidak mau MA-11 dijual di
pasaran untuk menghindari permainan pasar atau rantai distribusi yang
panjang yang pada akhirnya merugikan petani karena harga bisa menjadi
lebih mahal.
Untuk petani Indonesia
Nugroho
mengaku pernah mendapat tawaran dari Raja Perlis Malaysia pada 2007
untuk mengembangkan tanaman alfaafa di Malaysia, dengan syarat,
pengembangan tidak boleh dilakukan di tempat lain, termasuk Indonesia.
Namun, dengan tegas Nugroho menolak walau ia tahu belum tentu risetnya
lebih mudah diterima di negerinya sendiri.
Amerika Serikat, salah
satu negara yang membudidayakan alfaafa, menurut Nugroho, bahkan tidak
membiarkan tanaman alfaafa dibudidayakan di negara lain. Karena itu,
mereka membuat bibit yang dimandulkan untuk negara lain.
Meski
demikian, Nugroho tetap teguh dan percaya bahwa suatu saat para petani
Indonesia dapat mencapai kemandiriannya. Dia terus bergerak, berpromosi,
dan memperkenalkan alfaafa sehingga semakin lama semakin banyak pihak
yang mengetahui dan ingin belajar bagaimana membuat pakan, pupuk, hingga
bahan bakar secara mandiri.
Perwakilan dari negara-negara
seperti Afrika Selatan, Taiwan, Malaysia, Filipina, India, Uganda,
Kenya, dan Etiopia datang untuk mempelajari alfaafa. Nugroho menyanggupi
pendampingan kepada mereka dengan catatan tidak untuk monopoli.
Di
dalam negeri, petani-petani dan pemerintah daerah, di antaranya dari
Lampung, Aceh, Bukittinggi, Papua, Kalimantan Timur, Banjarmasin,
Pontianak, Makassar, dan Manado, juga berdatangan untuk belajar
bagaimana membuat pakan dan pupuk secara mandiri dengan alfaafa. MA-11
kini diproduksi hingga 10.000 liter per bulan untuk dijual kepada
petani-petani di Jawa Tengah dan daerah-daerah lain yang memesan.
Nugroho
juga membagikan benih alfaafa secara gratis kepada petani yang
menginginkannya. Dalam kemasan tertulis bahwa benih itu tidak untuk
dijual, tetapi untuk dibagikan kepada para petani. Syaratnya, petani
harus memperkenalkan tanaman itu kepada petani yang lain.
Benih
tersebut dapat ditanam di mana saja tanpa perlakuan khusus dan dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan teh (pucuk daunnya), juga untuk pakan
ternak dan pupuk yang kaya kandungan gizi.
”Ya, syaratnya hanya
satu, petani harus memperkenalkan tanaman dan bakteri ini kepada petani
yang lain. Yang saya inginkan hanya satu, semua petani sejahtera,”
tuturnya.
»» READMORE...