Social Icons

Rabu, 14 November 2012

Rahasia Unta Baktria Hidup di Lingkungan Ekstrem

Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Rabu, 14 November 2012 | 18:56 WIB

Arxive Unta baktria (Camelus bactrianus)
SHANGHAI, KOMPAS.com - Kadar glukosa dalam darah yang tinggi, makanan yang kaya kadar garam dan kecenderungan untuk menimbun lemak adalah resep kematian bagi manusia. Namun bagi spesies unta Baktria (Camelus bactrianus), hal itu adalah adaptasi sehingga bisa hidup di lingkungan ekstrem.

Ilmuwan meneliti genom unta Baktria liar dan yang sudah didomestikasi untuk melihat faktor genetik yang menjadi penentu strategi adaptasi unta. Hasil penelitian dipublikasuikan di jurnal Nature Communication pada Selasa (13/11/2012).

Riset mengungkap bahwa genom unta terdiri dari 20.821 gen. Banyak gen berperan dalam mendukung ketahanan unta di lingkungan ekstrem. Ilmuwan tertarik pada bagian gen yang "berevolusi secara cepat". Bagian gen itu terdiri dari gen yang membedakan unta Baktria dengan spesies kerabatnya.

"Kami menemukan bahwa gen yang terkait dengan metabolisme berada dalam evolusi yang dipercepat pada unta dibandingkan kerabatnya seperti sapi," kata Yixue Li, direktur Shanghai Center for Bioinformation Technology di China yang terlibat studi, seperti dikutip Nature, Selasa.

Analisis genetik mengungkap bahwa unta memiliki gen pengendali metabolisme berbeda yang membuatnya tahan pada kadar glukosa dan garam tinggi. Salah satunya, unta mengalami perubahan genetik pada gen yang terkait dengan diabetes pada manusia.

Unta Baktria juga memiliki perbedaan pada gen yang mengontrol metabolisme insulin, salah satu hormon yang mengatur kadar gula. Pembelajaran pada metabolisme insulin unta bisa menguak bagaimana pengaturan insulin dan diabetes pada manusia.

Selain itu, ilmuwan juga menemukan bagian genom yang membuat unta lebih tahan kadar garam tinggi. Unta memiliki banyak kopi dari gen CYP2J  yang pada manusia berfungsi mengontrol tekanan darah. Gen tersebut membuat unta punya tekanan darah yang lebih stabil walau kadar garam tinggi.

Unta baktria diketahui hidup di wilayah barat laut China dan barat daya Mongolia. Lingkungan tempat spesies ini hidup gersang, panas di siang hari dan dingin di malam hari. Di siang hari, temperatur unta ini bisa mencapai 34 - 41 derajat Celsius.

Unta Baktria memiliki kadar garam delapan kali lipat dari sapi dan somba serta kadar glukosa darah dua kali lipat lebih tinggi dari hewan memamah biak lainnya. Namun demikian, unta ini tak mengalami hipertensi atau diabetes. Unta juga memiliki protein yang melawan penyakit, menarik perhatian kalangan farmakologi.
Sumber :
»»  READMORE...

Selasa, 13 November 2012

Mencolok Telinga, Menuai Listrik


MASSACHUSETS, KOMPAS.com - Perubahan apapun bisa terjadi di masa depan. Listrik misalnya, di masa depan bisa didapatkan dari telinga. Tina Stankovic, peneliti saraf dari Harvard University Medical School di Boston, Massachusets, adalah orang yang berusaha mengembangkannya.

Stankovic seperti dikutip New Scientist, Kamis (8/11/2012), mengatakan, "Kita telah mengetahui tentang potensial DC di telinga manusia sejak 60 tahun lalu, namun tak ada yang berusaha untuk memanfaatkannya." Listrik di telinga adalah akibat dari gradien elektrik di membran sel.

Dengan chip elektronik yang memiliki beberapa elektroda kecil dengan hambatan rendah, Stankovik berupaya memanfaatkan. Selama ini, pemanfaatan terkendala sebab potensial listrik di sel telingan tergolong kecil.

Dalam penelitiannya, Stankovic mengimplantasikan chip ekektronik di telinga bagian dalam babi Guinea. Sementara, elektroda dihubungkan dengan membran sel koklea, bagian telinga yang berbentuk seperti rumah siput. Bersama chip, disematkan pula pemancar radio.

Pada awalnya, gelombang radio dibutuhkan. Namun akhirnya, gradien listrik yang ada di sepanjang membran sel berhasil dimanfaatkan untuk menghidupi pemancar radio selama 5 jam. Tes membuktikan bahwa pendengaran si babi Guinea tak terpengaruh.

Pengembangan masih diperlukan. Alat berfungsi baik pada jangka pendek. Tapi di jangka panjang, alat bisa merusak sensitifitas sel telinga. Tantangan ke depan, pengembangan elektroda yang lebih kecil.

Stankovic menuturkan, apa yang dilakukannya adalah bukti bahwa energi dari makhluk hidup belum dipertimbangkan. "Pandangan yang sangat futuristik adalah, kita mungkin bisa mengekstrak energi dari sel masing-masing individu dengan desain yang sama."

Riset dipublikasikan di jurnal Nature Biotechnology baru-baru ini. Jika teknologi ini terwujud, apa yang bisa dibayangkan? Mungkin, listrik bisa didapatkan dengan mencolok telinga. Yang jelas, ilmuwan punya tujuan medis. Implan koklea diharapkan bisa didukung dengan inovasi ini.
Sumber :

»»  READMORE...

Tulang Manusia Raksasa Tertua Ditemukan

 
Simona Minozzi Tulang tibia, salah satu tulang kaki, pada manusia Roma yang mengalami gigantisme (atas) dibandingkan dengan tulang tibia pada manusia normal.

ROMA, KOMPAS.com - Tulang manusia raksasa ditemukan di Fidenae. Tulang yang ditemukan sejatinya adalah milik seseorang yang mengalami gigantisme, kelainan pertumbuhan yang muncul karena gangguan fungsi kelenjar pituitari.

Simona Minozzi, ahli paleopatologi yang memimpin penelitian ini mengatakan bahwa temuan ini langka. Kejadian gigantisme hanya 3 per 1 miliar orang. Tulang yang ditemukan adalah yang terlengkap dan tertua yang menunjukkan pada kejadian gigantisme.

Tulang ini ditemukan dalam ekskavasi pada tahun 1991. Tanda kelainan pada tulang sebenarnya sudah diduga ketika melihat nisan tempat tulang dikubur yang lebih panjang. Setelah penemuan, tulang dikirimkan ke laboratorium Minozzi.

Observasi mengungkap, manusia yang ditemukan tulangnya ini adalah pria bertinggi 202 cm. Di abad ke 3 di Roma, dimana tinggi rata-rata pria adalah 167 cm, manusia itu tergolong raksasa. Saat ini, tinggi manusia tertinggi di dunia adalah 251 cm.

Bukti gigantisme diantaranya didapatkan dari analisis tulang tengkorak. Minozzi menemukan, ada kerusakan pada tulang tengkorak yang konsisten dengan tumor pituitari. Hal itu menyebabkan fungsi kelenjar pituitari terganggu, berujung pada pertumbuhan tak terkontrol.

Bukti lain dari gigantisme, seperti diuraikan dalam Journal of Cliniucal Endocrinology and Metabolism, 2 Oktober 2012 lalu, adalah tulang alat gerak yang tidak proporsional. Minozzi dan timnya menemukan, tulang tersebut bahkan terus tumbuh hingga lewat masa pertumbuhan.

Manusia dengan gigantisme itu diperkirakan mati pada umur 16 - 20 tahun. Kematian diduga terkait gigantisme, berpadu dengan penyakit kardiovaskuler dan gangguan pernafasan. Bagaimana hal itu bisa terjadi, ilmuwan belum mengetahuinya.

Menanggapi temuan tersebut, Charlotte Roberts dari Durham University di Inggris mengatakan bahwa dirinya yakin tulang tersebut memang milik manusia dengan gigantisme. Namun, ia menyarakan untuk menggali fakta lain, misalnya bagaimana peran manusia tersebut dalam masyarakatnya dahulu.

Lebih lanjut, seperti diberitakan National Geographic, Jumat (9/11/2012), kemampuan menggali informasi tentang penyakit dari tulang manusia di masa lalu akan memicu kemajuan sains di masa depan.

"Kita telah mampu menobservasi tulang dari situs arkeologis yang berusia ribuan tahun. Kini Anda bisa mulai untuk melihat tren bagaimana penyakit berubah frekuensinya dari masa ke masa," katanya.
Sumber :
»»  READMORE...

Gas Rumah Kaca Diubah Jadi Bahan Bakar

 
 shutterstock Ilustrasi
UTAH, KOMPAS.com - Mengubah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global menjadi bahan berguna selama ini cuma jadi mimpi. Zhiyong Yang, pelajar dari Utah State University berhasil mewujudkannya.

Hasil penelitian Yang yang dilakukan bersama rekannya, Vivian Moure dari Federal University di Parana, Brazilia dan Dennis Dean dari Virginia Tech dipublikasikan di jurnal Proceeding of the National Academy of Sciences, Senin (12/11/2012).

Yang mengatakan, keberhasilannya masih dalam tahap riset. Penemuannya masih langkah awal mewujudkan mimpi mengubah CO2 menjadi bahan berguna.

"Kami baru dapat mengubah sejumlah sedikit karbon dioksida menjadi metana dan proses yang kami jalankan masih sangat lambat dan tidak efisien," kaya Yang seperti dikutip Physorg, Senin kemarin.

"Tapi sekarang kita bisa memahami proses kimianya. Kita bisa meletakkan prinsip dasar konversi ini, dimana para ahli kimia bisa mengembangkan rancangan lebih baik serta katalis yang lebih efisien," tambah Yang.

Konversi CO2 menjadi senyawa lain selama ini sulit dilakukan karena CO2 sangat stabil. Yang berhasil mengonversinya dengan memanfaatkan bakteri.

Yang sebelumnya pernah mempelajari bakteri nitrogenase, bakteri pereduksi nitrogen. Yang menemukan molybdenum nitrogenase yang mampu mengubah karbon monoksida menjadi hidrokarbon. Riset itu dipublikasikan di Journal of Biological Chemistry pada 3 Juni 2011 lalu.

"Menggunakan pengetahuan tersebut, kita merenungkan dan berpikir apakah proses yang sama bisa digunakan mengonversi karbon dioksida," papar Yang. Yang menggunakan teknik rekayasa genetika sehingga bakteri nitrogenase bisa dimanfaatkan untuk mengubah CO2 menjadi metana.

Ke depan, tantangannya adalah menguraikan bagaimana konversi berjalan, transfer pengetahuan dan konstruksi katalis.
Sumber :
»»  READMORE...

Inilah Wajah-wajah Nenek Moyang Manusia


 
Daily Mail Sahelanthropus tchadensis

DRESDEN, KOMPAS.com — Alkisah, spesies manusia pertama kali muncul di Afrika dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru Bumi. Dalam penyebarannya, proses evolusi berlangsung menyesuaikan dengan tempat tinggal serta gaya hidup.
Ada beragam fosil nenek moyang manusia alias manusia purba yang ditemukan. Namun, banyak penemuan tak disertai dengan gambaran wajah manusia purba yang sebenarnya. Alhasil, manusia saat ini pun kesulitan membayangkan leluhurnya.
Sebuah pameran di Dresden, Jerman, akhir-akhir ini berupaya menyajikan wajah manusia purba yang lebih realistis. Ilmuwan yang ikut terlibat menggunakan teknik digitalisasi komputer untuk menggambarkan 27 wajah manusia purba yang direkonstruksi berdasarkan fosil yang ditemukan.
Salah satu yang digambarkan adalah Sahelanthropus tchadensis. Spesies itu adalah spesies manusia paling purba, hidup 7 juta tahun lalu, sebelum manusia dan simpanse terpisah secara genetik berdasarkan teori evolusi.
Spesies lain adalah Homo rudolfensis yang hidup 2 juta tahun lalu. Berdasarkan hasil rekonstruksi, spesies ini memiliki rahang lebar, hidung pesek, mata relatif sempit, serta dahi kecil.
Tak ketinggalan pula Homo erectus yang hidup 1 juta tahun lalu. Satu teori menyebutkan bahwa spesies ini berasal dari Afrika, lalu bermigrasi ke India, China, dan Jawa. Teori lain menyebutkan bahwa spesies ini berasal dari Asia dan pindah ke Afrika.
Ada pula Homo neanderthalensis yang diperkirakan merupakan kerabat terdekat Homo sapiens, manusia modern. Jenis ini hidup sekitar 60.000 tahun lalu. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa manusia modern pernah kawin dengan spesies ini.
Ada banyak versi tentang asal-usul manusia. Teori "Out of Africa" adalah yang paling kuat, tetapi banyak pula tandingannya. Pameran ini berupaya memperkenalkan lokasi penggalian di Afrika dan hasil penelitian para arkeolog dengan cara yang lebih menarik.
Sumber :

»»  READMORE...

Apakah Manusia Semakin Bodoh?

 
Discovery Otak
CALIFORNIA, KOMPAS.com — Sebuah studi kontroversial dipublikasikan di jurnal Trend in Genetics pada Senin (12/11/2012). Hasil studi itu menunjukkan bahwa manusia kini menjadi semakin bodoh.

Gerald Crabtree, pimpinan studi yang juga peneliti di Stanford University, dalam publikasinya mengatakan, "Perkembangan kecerdasan dan optimalisasi ribuan gen kecerdasan kita mungkin terjadi relatif non-verbal pada grup manusia yang hidup sebelum moyang kita meninggalkan Afrika."

Kecerdasan sangat penting pada masa berburu dan meramu. Manusia dapat membuat tempat berteduh dengan cepat dan menombak harimau yang mengancam. Kemampuan itu menentukan hidup dan mati manusia saat itu.

Crabtree menguraikan, kecerdasan tak diperoleh secara cuma-cuma, tetapi lewat proses evolusi dengan tekanan lingkungan sebagai pemicu seleksi alam.

Gen-gen yang mengendalikan kecerdasan manusia, berjumlah 2.000-5.000, rentan mengalami mutasi. Pada masa berburu dan meramu, tekanan lingkungan sangat besar. Tekanan itu yang memicu optimalisasi gen yang membuat cerdas, "menghapus" mutasi yang merugikan kecerdasan manusia.

Sejak masa pertanian, ketika manusia mulai hidup menetap, tekanan lingkungan menjadi rendah. Proses tersebut merugikan manusia. Tekanan lingkungan yang berkurang membuat proses "menghapus" mutasi—yang berpotensi membuat manusia menjadi bodoh—terhambat.

Hasil studi Crabtree menyatakan, dalam 3.000 tahun atau 120 generasi, manusia akan meneruskan satu atau dua hasil mutasi yang berbahaya bagi kecerdasan dan emosional manusia.

Tentu saja hasil studi ini menuai beragam reaksi. Hasil studi bertentangan dengan studi lain yang mengungkapkan bahwa IQ manusia semakin meningkat dalam 100 tahun terakhir.

Thomas Will dari University of Warwick mengatakan bahwa banyaknya mutasi tak berarti membuat manusia lebih tak berotak dari sebelumnya. Berkurangnya tekanan yang memaksa manusia menjadi pemburu ampuh justru memungkinkan munculnya kecerdasan yang lebih beragam.

"Anda tak punya Stephen Hawking 200.000 tahun lalu. Dia tak eksis. Tapi sekarang, kita punya orang yang memiliki kemampuan intelektual yang melakukan sesuatu dan memberi wawasan baru, yang tak pernah kita dapat dalam proses evolusi kita sebelumnya," ungkap Will seperti dikutip Livescience, Senin.


 
Sumber :
LiveScience
»»  READMORE...

Dulu, Diet Manusia Lebih Mirip Sapi

 
Getty Images Ilustrasi Australopithecus afarensis, kerabat dekat Australopithecus bahrelghazali.
OXFORD, KOMPAS.com — Seperti apa manusia pada masa lalu? Penelitian terbaru mengungkapkan, dari sisi makanannya, manusia ternyata lebih mirip sapi daripada simpanse.

Arkeolog meneliti manusia purba jenis Australopithecus bahrelghazali. Manusia ini hidup di padang rumput Afrika pada masa 3,5 juta tahun lalu.

Manusia purba tersebut punya ciri yang khas. Rahang manusia itu maju dan otaknya berukuran sepertiga otak manusia saat ini. Bertinggi sekitar 1,5 meter, manusia ini sudah berjalan tegak tetapi diperkirakan belum dapat membuat peralatan.

Dalam riset, arkeolog menganalisis fosil gigi A bahrelghazali dengan laser. Lapisan enamel diteliti untuk mengungkap jenis makanan yang menjadi diet spesies tersebut.

Julia Lee-Thorp, arkeolog dari Oxford University, yang memimpin penelitian ini, menjelaskan, "Data kami menunjukkan bahwa pada 3,5 juta tahun lalu, A bahrelghazali terbiasa mengeksploitasi tanaman C4."

Tanaman C4 secara sederhana adalah jenis tanaman yang tidak menangkap CO2 secara langsung. Hasil analisis Lee-Thorp menguak bahwa jenis tanaman yang dimakan A bahrelghazali adalah rumput dan alang-alang. Arkeolog mengatakan bahwa dari dietnya, manusia dahulu lebih mirip sapi.

Dikutip Daily Mail, Senin (12/11/2012), Lee-Thorp menjelaskan, "Hasil riset ini menjelaskan bahwa bahrelghazali adalah makhluk yang oportunis dalam mencari makanan dengan memanfaatkan sumber daya lokal termasuk savana, tak seperti simpanse."

Selain jenis yang diteliti kali ini, ilmuwan sebelumnya menemukan bahwa Paranthropus boisei juga mengonsumsi rumput dan alang-alang untuk hidup.
Sumber :
»»  READMORE...