Social Icons

Kamis, 04 April 2013

Antibiotik Tak Efektif Cegah Flu





Saat kondisi badan mulai terasa tidak enak, banyak orang yang melakukan pencegahan dengan meminum antibiotik supaya tidak telanjur sakit flu. Padahal, sebagian besar antibiotik yang diresepkan untuk mencegah flu atau virus tidak efektif.

Dalam studi yang hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Annals of Family Medicine disebutkan, antibiotik tidak banyak berpengaruh dalam mencegah flu.

Penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis rekaman medis lebih dari 814.283 pasien yang menderita flu, laringitis, bronkitis, serta virus lain (ISPA).

Meski antibiotik didesain untuk mengobati infeksi bakteri dan tidak efektif untuk ISPA, sebanyak 65 persen pasien mengatakan mendapat resep antibiotik untuk mencegah infeksi virus berkembang menjadi penyakit yang lebih serius, semisal pneumonia.

Padahal, kekhawatiran akan bertambah parahnya penyakit tersebut ternyata tak terbukti. Bahkan, cukup banyak pasien yang mengeluhkan efek samping dari konsumsi antibiotik.

Menurut penelitian, ternyata dari pasien yang mendapat antibiotik untuk pencegahan, hanya 1 dari 12.255 pasien yang berhasil dicegah penyakit pneumonia-nya.

"Makin banyak antibotik yang diminum, makin cepat bakteri di sekitar kita yang jadi kebal. Ini berarti, jika di kemudian hari kita sakit, besar kemungkinan penyakit itu tak akan sembuh oleh antibiotik," kata Sharon Meropol, asisten profesor epidemiologi dari Case Western Reserve University School of Medicine yang melakukan riset ini.

Meski begitu, kita tak perlu memusuhi antibiotik. Pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik akan mempercepat proses kesembuhan.

"Jika dokter Anda menyarankan antibiotik sebagai pencegahan flu, sebaiknya tanyakan alasannya dan apakah memang diperlukan," kata Robert Klein, kepala divisi penyakit infeksi dari St.Luke's dan Roosevelt Hospitals.

Bila alasan untuk mengonsumsi antibiotik kuat, pastikan Anda mengikuti instruksi minum obat yang benar untuk memaksimalkan efektivitas obat. Kesehatan Anda bergantung pada hal tersebut.

Sumber :
»»  READMORE...

Rabu, 03 April 2013

Diet untuk Si Unik Autis




Walau bukan sesuatu yang asing, tidak semua orang mengerti bagaimana memperlakukan anak penyandang autisme, termasuk dalam hal mengatur pola makannya. Padahal, makanan menjadi sumber utama nutrisi yang berguna bagi proses tumbuh kembangnya.

Autis adalah salah satu bentuk neurological disorder, yang menyebabkan penderitanya memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dengan dunia luar. Sampai saat ini, hal yang menjadi penyebab autisme masih menjadi misteri.

Gangguan di otak tentu dapat berpengaruh pada kesehatan saluran pencernaan. Pada penderita autisme, protein peptida dan gluten tidak dapat dicerna dengan baik. Walau tidak mengobati, diet tanpa kasein dan gluten tidak memperburuk gejala autisme.

Bagi penderita autisme, protein peptida (kasein) dan gluten tidak bisa dicerna dengan sempurna. Akibatnya, hasil protein yang belum sempurna ini lolos dari usus dan masuk ke dalam aliran darah, beberapa ahli menyebutnya sebagai usus bocor (leaky gut). Pecahan ini kemudian diserap otak sebagai asupan untuk tumbuh kembangnya

Leaky gut sendiri juga dikenal dengan peningkatan permeabilitas usus (increased intestinal permeability). Menurut teori ini, anak autis memiliki sejenis lubang atau luka pada ususnya. Hal ini  disebabkan oleh racun, sensitivitas pada antibiotik, atau infeksi akibat pertumbuhan jamur Candida albican. Akibatnya, anak kehilangan keseimbangan mikrobiotik dalam saluran pencernaannya. Sehingga, anak tidak mampu memproduksi enzim yang mampu memecah gluten dan kasein dengan sempurna.

Pecahan dari gluten dikenal dengan nama Gliadorphin-7 dan beberapa protein dengan struktur yang mirip. Sedangkan dari peptida disebut Bovine ß-casomorphin-7 dan beberapa polypeptida dengan struktur yang mirip. Kedua protein memiliki kandungan mirip morfin yang disebut opioid. Protein ini kemudian diserap orang dan termanifestasi dalam bentuk gejala autisme.

Anak yang mengkonsumsi kasein dan gluten biasanya menampakkan gejala autisme lebih nyata daripada yang menghindarinya. Hal ini ditegaskan penelitian yang dilakukan Dr Paul Shattock pada 2008 di Inggris. Hasil penelitian mengatakan, anak yang tidak menyandang autisme memiliki kandungan peptida lebih rendah dibanding anak berautis.

Terus, makan apa?

Anak dengan autis sedapat mungkin menghindari hidangan dengan kandungan gluten atau peptida di dalamnya. Hal ini sangat menantang, karena anak harus menghindari segala produk susu semisal es krim, yoghurt, mentega, dan keju. Padahal, bahan makanan ini merupakan komponen utama camilan favorit anak.

Sementara untuk gluten, anak harus menghindari pasta, mie, kue kering, atau cake. Protein gluten juga terdapat di  tanaman sejenis gandum seperti rye, barley dan oats.  Gluten juga digunakan pada produk non makanan seperti pasta gigi, lip balm, dan lotion.

Walau tidak mudah orangtua bisa memulainya dari diet non kasein dan perlahan mengurangi gluten. Sebaiknya, anak banyak mengkonsumsi telur, daging, sayur, buah, dan kacang-kacangan untuk mencukupi kebutuhan gizinya.
Sumber :
»»  READMORE...

Merokok di Pagi Hari Paling Berbahaya





www.guardian.co.uk

Mengisap sebatang rokok setelah bangun tidur dipercaya oleh para pecandu rokok akan meningkatkan mood dan konsentrasi di pagi hari. Padahal, kebiasaan merokok di pagi hari sangat berbahaya.

Tim peneliti dari Pennsylvania State University melakukan penelitian untuk mengetahui kaitan antara merokok di pagi hari dan berbagai tipe kanker.

"Kami menemukan bahwa perokok yang langsung merokok setelah bangun tidur memiliki level NNAL atau karsinogen spesifik dari metabolit tembakau di dalam tubuh mereka dibanding dengan perokok yang menunda menyalakan rokoknya sampai setengah jam setelah bangun tidur," kata Steven Branstetter. Makin tinggi kadar NNAL, makin besar risikonya terkena kanker.

Ia menjelaskan, waktu merokok ternyata lebih berpengaruh daripada jumlah rokok yang dikonsumsi per hari, dalam kaitannya dengan kanker.

Branstetter dan timnya mengobservasi sekitar 2.000 orang dewasa yang perokok. Setiap individu ditanyakan berapa sering mereka merokok dan kapan mereka merokok di pagi hari atau setelah bangun tidur.

Para partisipan studi juga diambil contoh urinenya untuk menentukan jumlah NNAL dalam tubuh mereka. Kadar NNAL dalam manusia cenderung stabil. Ini berarti pengambilan contoh satu kali sudah cukup untuk mengetahui jumlah paparan dalam jangka waktu lama.

Hasil penelitian menunjukkan, 32 persen perokok langsung merokok sekitar 5 menit setelah bangun tidur, 31 persen merokok antara 6-30 menit setelah bangun, 18 persen antara 31-61 menit setelah bangun, dan 19 persen menunggu sekitar satu jam setelah bangun.

Ternyata kadar NNAL dalam tubuh responden paling tinggi ada pada perokok yang langsung merokok 5 menit setelah bangun dibandingkan dengan yang menunggu minimal 30 menit. Selain itu, level NNAL dalam sirkulasi darah juga bisa memprediksi kapan mereka mulai merokok, apakah mereka tinggal dengan perokok lain, usia, dan jenis kelaminnya.

Sumber :
»»  READMORE...

Udang Kecebong Bukan Fosil Hidup




Africa Gomez Udang Kecebong Eropa, Triops cancriformis, bukanlah fosil hidup seperti yang diduga sebelumnya.


Istilah "fosil hidup" dapat menimbulkan salah pemahaman karena istilah itu bisa diartikan proses evolusi pada hewan yang "dihadiahi" istilah tersebut telah berhenti.
Udang kecebong (Triops cancriformis) secara umum dikenal sebagai fosil hidup karena bentuknya yang sangat mirip dengan nenek moyangnya. Namun, sebuah hasil penelitian terbaru mengungkapkan, ternyata hewan tersebut bukanlah fosil hidup karena usia mereka jauh lebih muda dari nenek moyangnya.

Peneliti menganalisis rangkaian DNA dari semua jenis udang kecebong yang telah teridentifikasi, dan DNA dari kelompok crustaceae seperti kutu air dan udang brine. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang kecebong telah mengalami beberapa kali siklus perluasan evolusi dan kepunahan.

Udang jenis ini tergolong kelompok spesies kriptik, kelompok hewan yang keragaman genetiknya tinggi, tetapi secara penampakan sangat mirip. Penelitian ini mengungkapkan total ada 38 spesies, dan kebanyakan dari spesies tersebut belum banyak tergambarkan.

Karena morfologinya yang sangat mirip, menentukan fosil pada spesies yang tepat pun merupakan satu tantangan tersendiri. Beberapa fosil berusia 250 juta tahun ditetapkan satu spesies dengan Triops cancriformis. Akan tetapi, hasil studi terbaru yang dilakukan Africa Gómez menunjukkan bahwa spesies tersebut baru berevolusi sejak 25 juta tahun lalu.

Oleh sebab itu, penggunaan istilah "fosil hidup" pada kelompok hewan spesies kriptik bisa menimbulkan kesalahpahaman.
"Fosil hidup berevolusi seperti halnya organisme lainnya. Mereka hanya kebetulan mendapat bentuk tubuh yang baik yang bisa bertahan seiring jalannya waktu," ungkap Gómez dalam pernyataannya, sebagaimana dikutip LiveScience pada Selasa (2/4/2013).

"Meski tampilan luar hewan ini sangat mirip dengan fosil kecebong laut dari zaman dinosaurus, DNA dan strategi reproduksi mereka yang relatif tersembunyi telah berevolusi secara konstan," kata Gómez.
 
Sumber :
»»  READMORE...

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN BATU GINJAL

»»  READMORE...

Saat Kawin, Kelelawar Juga Melakukan Seks Oral



Maruthupandian J, Marimuthu G / PLOS ONE Kalong jantan sedang melakukan oral seks pada betinanya pasca kopulasi yang terekam dalam video yang diunggah oleh peneliti dalam laporan penelitiannya.


MADURAI, Hasil penelitian terbaru yang dilakukan peneliti dari Madurai Kamaraj University di India menemukan fakta bahwa kelelawar jantan melakukan seks oral kepada betinanya untuk membuat waktu perkawinan mereka berlangsung lebih lama.
Menurut peneliti, perilaku yang disebut cunnilingus ini dilakukan kelelawar jantan ketika kelelawar betina berhenti bergerak dan bertujuan untuk merangsang dan melumasi organ reproduksi pasangannya.

Perilaku ini diketahui peneliti setelah melakukan pengamatan terhadap sebuah koloni beranggotakan 420 ekor kelelawar India (Pteropus giganteus) selama  lebih dari 13 bulan menggunakan binokuler dan kamera video.
Kelelawar pemakan buah ini merupakan salah satu jenis kelelawar terbesar di dunia. Selama pengamatan, peneliti menyaksikan 57 kali aktivitas seks, kopulasi dan oral, yang kebanyakan dilakukan di pagi hari.

"Terlepas dari yang manusia lakukan, ternyata kelelawar juga melakukan oral seks sebagai bagian perilaku sanggama mereka," ujar Ganapathy Marimuthu, peneliti tentang kelelawar di Madurai Kamaraj University di India, seperti dikutip Livescience, Senin (1/4/2013).
Dalam proses reproduksi, pada awalnya, kelelawar jantan akan merangsang penisnya hingga mengalami ereksi. Kemudian, dia akan mengejar kelelawar betina. Sekali menyentuh, betina biasanya melarikan diri. Kelelawar jantan kemudian mengikuti. Jika berhasil memikat betina, maka pejantan akan memulai seks oral.
Peneliti juga menemukan fakta bahwa durasi cunnilingus sebelum kawin akan memengaruhi durasi kopulasi. Semakin lama seks oral dilakukan, durasi kelelawar jantan untuk melakukan kopulasi semakin panjang. Hal ini menguntungkan baginya. Artinya, sperma memiliki waktu lebih lama untuk bergerak.

"Waktu kopulasi yang lebih lama membantu mobilitas sperma. Mobilitas sperma ini akan meningkatkan peluang terjadinya pembuahan," kata Marimuthu.

Aktivitas cunnilingus ini berlangsung kira-kira 50 detik, kemudian dilanjutkan dengan kopulasi selama 10 sampai 20 detik. Setelah kopulasi, kelelawar jantan kembali melakukan cunnilingus untuk 94 sampai 188 detik.

Marimuthu juga mencatat, perilaku seks oral yang dilakukan kelelawar jantan mungkin bertujuan untuk membersihkan vagina pasangannya dari sperma individu lain yang jadi pesaingnya. Perilaku ini seolah memberi kepastian bahwa sperma yang membuahi sel telur bukan milik pesaingnya.
"Dalam konteks ini, aktivitas seks oral yang dilakukan kelelawar jantan pasca-hubungan badan adalah perilaku maladaptive. Hal ini karena, ketika mereka melakukan hal tersebut, ada risiko si jantan menghilangkan sperma mereka sendiri," tulis peneliti dalam artikelnya yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, Kamis (28/3/2013) lalu.
Perilaku seks oral ini tak hanya dilakukan kelelawar jantan. Pada jenis lain, dijumpai juga bahwa betina pun melakukan seks oral untuk merangsang pejantan.
Sumber :
»»  READMORE...

Cek HIV Mandiri Cegah Stigma





Deteksi dini infeksi HIV diyakini menjadi salah satu cara untuk mencegah penularan dan meningkatkan harapan hidup orang dengan HIV/AIDS. Karena itu pemeriksaan HIV menjadi penting. Namun karena adanya stigma pada ODHA di masyarakat, banyak orang yang enggan memeriksakan dirinya. Dengan pemeriksaan HIV secara mandiri di rumah, kekhawatiran tersebut bisa dicegah.
Para peneliti menjelaskan bahwa pemeriksaan mandiri yang dikombinasi dengan konseling dapat meningkatkan angka partisipasi deteksi dini dan pengobatan. Pada akhirnya hal tersebut akan menurunkan penularan HIV, virus yang menyebabkan AIDS.

Studi menunjukkan, pemeriksaan mandiri untuk HIV dapat dilakukan di rumah dengan cara mengambil sampel dari gusi. Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, nyaman, pribadi, dan dapat menunjukkan hasil dalam 20 menit. Namun hasil tes juga perlu dikonfirmasi dari klinik kesehatan.

Studi yang dimuat dalam jurnal PLoS Medicine ini menganalisa 21 studi sebelumnya. Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa pemeriksaan mandiri dapat menghilangkan ketakutan dan stigma dari masyarakat.

"Sudah tiga puluh tahun epidemi HIV, namun belum ditemukan vaksinnya," ujar penulis utama studi dr. Nitika Pant Pai, peneliti klinis di Research Institute of McGill University Health Center di Montreal.

"Pengobatan sebagai strategi pencegahan sudah berhasil dilakukan, namun skrining HIV masih menjadi masalah, khususnya masalah sosial, yaitu adanya stigma dan diskriminasi," tuturnya.

Menurut badan PBB untuk Masalah HIV/AIDS (UNAIDS), secara global 50 persen orang dengan HIV belum tahu bahwa mereka terinfeksi. Padahal ada sekitar 2,5 juta orang yang terinfeksi setiap tahunnya.

Pant Pai dan timnya menekankan pada pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk mempertimbangkan penyediaan pemerikaan mandiri untuk HIV.

"Dunia telah membuat kemajuan yang besar dalam alat medis, obat, dan strategi pencegahan dan penanggulangan HIV, namun belum pada stigma dan diskriminasi," ujar para peneliti.

Sumber :
Healthday News
»»  READMORE...