Social Icons

Minggu, 10 Maret 2013

Jalan Kaki Rutin Baik untuk Pasien Stroke

Berjalan kaki secara rutin dapat meningkatkan kesehatan pasien stroke baik dari sisi fisik, mobilitas, maupun kualitas hidupnya. Demikian diungkapkan sebuah studi baru yang dimuat dalam jurnal Stroke.

Studi ini melibatkan 128 orang penderita stroke di Jamaika yang dibagi tiga kelompok berbeda. Kelompok pertama melakukan latihan berupa berjalan kaki rutin selama tiga kali seminggu, kelompok kedua menerima pijatan terapeutik, dan kelompok ketiga tidak mendapatkan keduanya.

Hasilnya, kelompok pertama mengalami peningkatan kualitas hidup berdasarkan kesehatan fisik sebanyak hampir 17 persen. Mereka dapat berjalan 18 persen lebih jauh dalam tes daya tahan dan memiliki denyut jantung 1,5 persen lebih rendah. Sedangkan grup kedua memiliki denyut jantung yang hampir 7 persen lebih tinggi.

"Berjalan kaki adalah cara yang sangat baik untuk aktif kembali setelah stroke. Berjalan merupakan kegiatan yang tidak asing, tidak mahal, dan mudah," ujar ketua studi Carron Gordon, yang juga dosen di departemen fisioterapi University of West Indies Jamaika.

Gordon menambahkan, berjalan kaki dapat membantu dalam mengontrol tekanan darah, menurunkan kadar lemak, dan menjaga berat badan yang semuanya merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler.

Oleh sebab itu pula, para dokter diharapkan dapat menyarankan pasien stroke untuk melakukan latihan berjalan dengan rutin. Pascaserangan stroke, pasien biasanya menjadi lemah dan takut untuk melakukan aktivitas fisik karena takut terjatuh. Padahal, hal ini membuat mereka kesulitan untuk menjaga hubungan sosial dan kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Karena itulah, peran orang terdekat sangat penting untuk meyakinkan para penderita stroke untuk kembali aktif berjalan. Untuk memulai latihan berjalan, orang terdekat pasien dapat menemani, hingga perlahan-lahan pasien menjadi lebih percaya diri untuk dapat melakukan latihan tersebut sendiri secara rutin.

Pria dan wanita peserta studi ini menderita stroke enam hingga 24 bulan sebelum studi ini dimulai dan dapat berjalan sendiri tidak ataupun dengan alat bantu. Usia rata-rata dari peserta adalah 64 tahun. Selain baik untuk penderita stroke, berjalan juga baik untuk menghindari stroke. Orang perlu berjalan paling tidak 150 menit perhari, dan 75 menit perminggu untuk aktivitas fisik berat.

Kombinasi keduanya pun bisa dilakukan. Demikian saran dari American Heart Association. Sedangkan bagi penderita stroke, 20 hingga 60 menit diperlukan untuk latihan aerobik, dilakukan tiga sampai tujuh hari seminggu.


Sumber :
Healthday News
»»  READMORE...

3 Rambu Penting Berlatih Yoga

Selama ini, gerakan yoga selalu menitikberatkan pada aktivitas meditasi di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca indera dan tubuh secara keseluruhan.

Sebenarnya ada tiga aspek utama pada latihan yoga yang dapat membantu Anda berada pada titik lebih dalam dan rileks. Berikut adalah hal-hal yang perlu Anda perhatikan untuk mendukung kelancaran latihan yoga :

* Amati  otot yang tegang

Ketika Anda dalam posisi yang benar-benar butuh keseimbangan penuh, Anda bisa fokus memperhatikan bagian mana saja dari tubuh Anda yang mengalami tegang. Pembiaran, hanya akan membuat latihan yoga berantakan dan bahkan bisa melukai diri sendiri dengan akibat latihan yang terlalu keras.

* Pengaturan nafas

Ada beberapa jenis pranayama (latihan pernapasan) yang mengharuskan Anda menahan napas. Selama latihan yoga, Anda harus fokus saat menghirup dan menghembuskan napas. Ketika melakukan gerakan yang menantang dan harus menahan napas, mungkin Anda akan sedikit merasa pusing atau sakit kepala. Jika Anda kesulitan, ulangi kembali gerakan yang sama dan atur napas secara konsisten untuk mendukung postur tubuh.

* Hindari gerakan yang tidak perlu

Tujuan dari latihan yoga adalah menghubungkan antara napas dan gerakan tubuh. Ketika tubuh Anda membuat gerakan tambahan yang tidak perlu, hal itu justru akan mengganggu program latihan Anda.


Sumber :
»»  READMORE...

Depresi Ada Kaitannya dengan Kebutaan






Depresi kerap dikaitkan dengan berbagai macam penyakit. Sebuah penelitian terbaru menghubungkan depresi dengan risiko kebutaan. Riset yang dipublikasi dalam jurnal JAMA Ophthalmology ini menyatakan, mereka yang mengalami depresi berisiko lebih besar untuk menderita kebutaan.

Para peneliti menganalisa data lebih dari 10.000 orang dewasa berusia 20 tahun dan berpartisipasi dalam survei National Health and Nutrition Amerika Serikat antara tahun 2005 dan 2008.

Berdasarkan hasil survei, di antara orang yang menderita depresi, sebanyak 11 persen melaporkan bahwa mereka mengalami kebutaan, dan 5 persen melaporkan mereka tidak mengalaminya.

Setelah menelaah beberapa faktor, diantaranya usia, jenis kelamin, dan keadaan kesehatan secara umum, para peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara orang yang dilaporkan mengalami kebutaan dan depresi. Meskipun, studi ini tidak menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat di antara keduanya.

"Studi ini menunjukkan adanya informasi lebih jauh tentang hubungan antara depresi dan kebutaan pada orang dewasa dengan berbagai tingkatan usia," ujar Xinzhi Zhang, dari National Institute of Health Amerika Serikat.

Para peneliti menyimpulkan, perlu adanya pengenalan dan perawatan lebih baik bagi orang yang menderita depresi yang melaporkan adanya penurunan kemampuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari akibat menderita kebutaan.

Sumber :
Healthday News
»»  READMORE...

Meraih Bahagia Lewat olahraga

Segala yang berkaitan dengan aktivitas fisik seperti olahraga selalu dikaitkan dengan program penurunan berat badan atau pencegahan penyakit. Namun, ini kurang lengkap. Olahraga sebenarnya juga meningkatkan rasa bahagia.

Bagi mereka yang rutin berolahraga, tentu akrab dengan perasaan nyaman dan bahagia yang memenuhi hati setelah selesai olahraga. Saat berolahraga akan terjadi pelepasan endorfin sehingga kita pun merasa tenang.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam the American Journal of Epidemiology, diketahui aktivitas olahraga secara rutin sangat berpengaruh besar pada kebahagiaan seseorang.

Tim peneliti dari Kanada menganalisa data dari 8 National Population Health Survey dengan periode 15 tahun untuk mengetahui kaitan antara level aktivitas fisik dengan kebahagiaan.

Dalam jangka pendek, olahraga memang terkait dengan kebahagiaan, karena orang yang bahagia biasanya senang berolahraga.

Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan, perubahan kebiasaan, misalnya dari tidak berolahraga menjadi aktif berolahraga akan berpengaruh pada mood seseorang dalam jangka panjang. Singkatnya, membangun kebiasaan berolahraga bisa menjadi investasi bagi rasa bahagia di masa depan.

Selain itu, orang yang rajin berolahraga juga cenderung lebih awet muda sehingga mereka pun lebih bahagia.

Olahraga, seperti joging atau berlari, akan memperlancar sirkulasi oksigen dan peredaran darah. Dengan darah yang lancar, nutrisi ke seluruh jaringan kulit tidak terhambat. Selain kesegaran sel-sel terpelihara, hal itu juga membantu mengaktifkan produksi kolagen untuk melembabkan kulit.



Sumber :
msnbc
»»  READMORE...

Ingin Panjang Umur? Batasi Daging yang Diproses

Sosis, ham, daging asap, dan daging olahan lainnya sebaiknya mulai Anda kurangi konsumsinya. Menurut studi terbaru, kebiasaan mengasup daging olahan tersebut berkontribusi pada kematian di usia muda.

Dalam laporan yang dimuat dalam jurnal BMC Medicine para peneliti menyimpulkan bahwa daging yang diproses terkait erat dengan penyakit kardiovaskular, kanker, dan kematian di usia muda.

Yang perlu diwaspadai dari daging olahan tersebut adalah penggunaan garam yang tinggi serta bahan-bahan kimia sebagai pengawet.

Penelitian mengenai efek diet tinggi daging olahan tersebut dilakukan dengan mengikuti orang dari 10 negara selama hampir 13 tahun.

Mereka yang mengonsumsi lebih dari 160 gram (setara dengan dua sosis dan satu iris daging babi asap) daging yang diproses setiap hari, risiko kematiannya pada kurun waktu 13 tahun 44 persen lebih besar dibanding dengan mereka yang hanya makan 20 gram daging olahan.

"Mereka yang hobi mengonsumsi daging, terutama daging yang diproses, biasanya juga memiliki gaya hidup kurang sehat," kata Prof.Sabine Rohrmann dari Universitas Zurich.

Memang orang-orang dalam penelitian tersebut selain suka makan daging olahan umumnya juga merokok, obesitas, dan punya gaya hidup buruk lainnya.

"Berhenti merokok sebenarnya lebih penting daripada mengurangi daging. Tetapi saya tetap merekomendasikan orang untuk mulai membatasi konsumsi daging olahan," katanya.

Penelitian sebelumnya juga pernah mengaitkan antara daging yang diproses, seperti daging asap, burger, atau hot dog, meningkatkan risiko kanker usus.

Dr.Rachel Thompson dari World Cancer Research Fund menyebutkan, sekitar 4000 kasus kanker usus bisa dicegah jika konsumen membatasi asupan daging olahan kurang dari 10 gram setiap hari.

Kendati begitu daging tetap disarankan untuk dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehat dan seimbang. Selain daging merah, sumber protein yang baik lainnya adalah daging ayam, ikan, serta kacang-kacangan.



Sumber :
»»  READMORE...

5 Alasan Mengapa Takut ke Dokter Gigi






Tak sedikit orang yang menganggap kunjungan ke dokter gigi sebagai teror yang mengerikan. Padahal, rutin ke dokter gigi sangat penting untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut.

Mengabaikan jadwal kunjungan rutin ke dokter gigi sebenarnya bisa merugikan. "Kita menggunakan gigi berulang kali sejak pagi sampai malam, setiap hari. Karenanya memeriksakan gigi dua kali setahun bisa mencegah kerusakan gigi," kata Jennifer K.Shin, dokter gigi di New York.

Setiap keluhan dan gangguan pada gigi yang ditemukan sejak awal akan membuat solusi yang diberikan lebih mudah, cepat, dan tentu saja murah.

Ketahui apa saja yang menjadi alasan mengapa orang malas ke dokter gigi.

- Biaya
Biaya yang mahal menjadi faktor utama orang mengabaikan kunjungan rutin ke dokter gigi. Survei di AS bahkan menyebutkan 44 persen orang tidak ke dokter gigi karena tak punya asuransi kesehatan gigi.

"Faktanya, jika kita merawat gigi dengan baik, kunjungan ke dokter gigi tak harus mahal," kata John Dodes, dokter gigi dan penulis buku Healthy Teeth: A User's Guide.

- Kecemasan
Kebanyakan orang dikuasai kecemasan sehingga takut memeriksakan giginya. Untuk meningkatkan emosi positif, carilah dokter gigi yang ramah. Pengalaman buruk di masa lalu juga menjadi hambatan tersendiri. Komunikasi yang baik dengan pasien bisa membantu mengurangi rasa takut Anda.

- Takut diperlukan perawatan
Banyak pasien yang takut memeriksakan giginya karena khawatir dokter akan menemukan masalah gigi lainnya sehingga diperlukan perawatan lanjutan.

- Takut sakit
Selain takut dengan perawatan gigi, banyak orang takut akan rasa sakit. Padahal saat ini sudah tersedia berbagai metode perawatan gigi yang minim rasa nyeri.

- Sibuk dan malas
Terkadang, seseorang begitu sibuk melakukan berbagai hal sehingga tak bisa meluangkan waktu untuk datang ke klinik gigi. Jika kunjungan ke dokter gigi bukan salah satu rutinitas kita, maka akan lebih sulit untuk membiasakan diri.



Sumber :
»»  READMORE...

Gangguan Obsesif Kompulsif pada Ibu Baru






Setiap ibu baru sering mengalami kekhawatiran terhadap bayinya. Sayangnya, kekhawatiran tersebut kerap berlebihan. Misalnya, apakah si kecil bernapas dengan baik, takut ia terjatuh dari tempat tidur, atau takut bayi jatuh saat digendong orang lain.

Karena itu ibu baru dianggap punya kecenderungan mengalami gangguan kepribadian obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder/OCD). Kondisi tersebut bisa membuat seseorang menjadi mudah resah.

Yang dimaksud dengan obsesi adalah keterpakuan pada pikiran yang terus berulang dan tak dapat dikendalikan (misalnya terus membayangkan perilaku pacar dan mantannya).

Adapun kompulsif adalah tingkah laku yang repetitif dan dianggap harus dilakukan. Pada ibu baru, bentuknya adalah  berulang kali mengecek kondisi si bayi.

Dalam penelitian terbaru yang dimuat dalam Journal of Reproductive Medicine, Dr.Dana Gossett dan timnya melaporkan penelitian bahwa seorang ibu yang baru melahirkan cenderung mengalami OCD dalam skala ringan sampai moderat.

Gangguan OCD tersebut dialami sekitar 11 persen ibu pada periode dua minggu sampai enam bulan setelah melahirkan. Jumlah tersebut dianggap sangat besar dibandingkan dengan populasi umum yang hanya sekitar 2-3 persen.

Seorang ibu dianggap memiliki gejala OCD bila mereka terus-menerus mengalami pikiran yang mengganggu, misalnya takut anaknya terluka atau khawatir infeksi bakteri, perilaku kompulsif seperti berulang kali mengecek kondisi bayi atau harus mencuci botol berulang kali agar yakin botol susu sudah steril.

"Dorongan yang timbul dari pikiran tersebut diharapkan akan mengusir kecemasan. Misalnya, mereka merasa jika kita mencuci tangan kita berulang kali dengan sabun maka bayi tidak akan terinfeksi sehingga ia tak sakit lalu meninggal," kata Gossett.

Memang sejauh ini belum ada ibu baru yang secara klinis didiagnosa OCD. Hasil studi yang dilakukan Gossett tersebut hanya berdasarkan data pengakuan dari 461 ibu yang baru melahirkan 2 minggu lalu dan diwawancara 6 bulan kemudian.

Kabar baiknya, pada separuh ibu gejala OCD tersebut akan menghilang dalam waktu 6 bulan setelah persalinan. Namun pada sisanya gejalanya tetap berlanjut dan sekitar 5 persen mengembangkan gejala baru.


Gangguan kepribadian OCD jelas memengaruhi kehidupan sehari-hari. Para ibu yang dilanda kecemasan akan keselamatan bayinya tentu tak tenang meninggalkan bayinya sendirian atau menghabiskan waktunya untuk mengecek bayinya.

"Selain mengganggu rutinitas, hal itu juga menimbulkan stres emosional sehingga si ibu tidak sempat memikirkan dirinya sendiri," katanya.

Perubahan hormonal dan biologis diduga kuat berpengaruh pada timbulnya gejala OCD pada ibu yang baru melahirkan. Sekitar 70 persen ibu yang terlibat dalam penelitian ini juga menderita depresi pasca melahirkan.

Para ahli mengatakan OCD pasca melahirkan mungkin merupakan bentuk reaksi psikologis pada tanggung jawab baru yang dimiliki ibu dengan adanya bayi.

Kabar baiknya oCD pasca melahirkan bisa diatasi. Dukungan dari seluruh anggota keluarga dalam perawatan bayi juga bisa membantu mengurangi kecemasan.




Sumber :
msnbc
»»  READMORE...