KOMPAS.com
- Dunia bersukacita ketika Francis Harry Compton Crick, James Dewey
Watson, dan Maurice Hugh Frederick Wilkins menemukan struktur molekul
asam nukleus yang menyusun materi genetik tahun 1953. Dikenal sebagai
DNA (deoxyribonucleic acid), inilah cetak biru informasi genetik penentu
sifat setiap makhluk hidup.
Pemahaman DNA dan petanya menjadi
kunci pembuka babak baru dalam memahami penyakit dan pengobatannya.
Karena itu, pada 1990 diluncurkanlah Proyek Genom Manusia untuk
memetakan 3 miliar nukleotida yang menyusun 100.000 gen dalam tubuh
manusia. Varian-varian gen tersebut, antara lain, menentukan tinggi
badan, warna mata, sidik jari, golongan darah, dan kerentanan terhadap
penyakit.
Pemetaan genom selesai tahun 2003—dua tahun lebih cepat
dari target—dengan biaya 2,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 26,04
triliun. Tercapaikah mimpi manusia untuk mengenali tubuhnya?
Banyak kasusMajalah
Time
edisi 24 Desember 2012 dalam laporan utamanya mengungkap berbagai
dilema moral yang muncul setelah orang melihat peta genom diri ataupun
keluarganya. Hasil uji genetik ternyata tidak selalu memberikan jalan
keluar untuk mengatasi penyakit, bahkan bisa memicu banyak risiko dan
perdebatan etika.
Dengan biaya pemetaan DNA 7.500 dollar AS
(sekitar Rp 72,34 juta), Laurie Hunter berharap mengetahui penyebab
gangguan kesehatan anaknya, Amanda. Sejak usia dua bulan, Amanda tumbuh
tidak seperti anak-anak lain. Ia lemah dan terlambat mengangkat kepala,
bicara, ataupun berjalan. Pada usia sembilan tahun, Amanda makin lemah
dan lamban. Ia bahkan tidak mampu meniupkan udara lewat hidungnya.
Laurie
Hunter adalah guru Bahasa Inggris sebuah SMA di Jackson, New Jersey,
Amerika Serikat. ”Saya memilih uji genetik karena menginginkan jawaban,”
katanya.
Hasil uji ternyata mengagetkan. Amanda diketahui
kehilangan tujuh gen dalam rantai kromosom pertamanya. Namun, penyebab
masalah tetap misterius karena hilangnya tujuh gen itu justru memicu
ancaman lain: Amanda berpotensi terkena kanker yang jarang. Lebih parah
lagi, peta genetik Laurie Hunter juga menunjukkan pola kehilangan gen
serupa, bahkan pada kedua anaknya yang lain.
Ada banyak dilema di
The Children’s Hospital of Philadelphia (CHOP), tempat genom Amanda
dipetakan. Seorang bayi dengan penyakit misterius ketika diuji gennya
ternyata memiliki mutasi gen yang akan memunculkan demensia pada usia 40
tahun. Perlukah orangtua tahu bahwa anaknya akan terserang penyakit
saraf penyebab mengompol, pandangan mata kabur, dan kepikunan?
Demensia
tidak dapat dicegah dan belum ada obatnya. Mengatakan hal itu tidak
akan menjamin si bayi kelak akan terhindar dari demensia. Lebih berat
lagi, jika masalah terkuak tidak akan ada satu asuransi pun yang mau
membiayai. Pihak CHOP akhirnya memutuskan merahasiakan hasil ini.
Keputusan
sebaliknya berlaku pada kasus anak berumur dua tahun dengan gangguan
ginjal. Hasil pemeriksaan menunjukkan ia memiliki gen pemicu kanker usus
besar. Karena risiko ini bisa dicegah dengan mengatur pola
makan dan hidup sehat, hasil pemetaan disampaikan kepada orangtuanya.
Membantu pencegahanDalam
tataran ideal, analisis genetik memang dapat membantu menghemat biaya
kesehatan lewat deteksi dan pencegahan dini. Dr Katrina Armstrong, Guru
Besar Sekolah Kedokteran di University of Pennsylvania, AS, menjelaskan
bahwa uji pada 21 gen tertentu bisa menunjukkan pasien kanker payudara
yang tidak responsif terhadap kemoterapi. Informasi ini akan membantu
pasien mendapatkan terapi yang lebih tepat dan bisa menghemat biaya
hingga 400 juta dollar AS setiap tahun.
Menurut Dr Wylie Burke,
ahli genetik yang memimpin Departemen Bioetik dan Humaniora di
University of Washington, ada sekitar 1.000 mutasi gen yang wajib uji.
The American College of Medical Genetics and Genomics telah membuat
daftar kondisi apa saja yang perlu dicek rutin saat pemetaan genom.
Dengan fokus pada ”titik-titik panas” tertentu, pasien bisa mendapat
informasi signifikan untuk kesehatannya.
Saat ini beberapa
penyakit diketahui terkait dengan gen, termasuk di antaranya alzheimer,
kanker usus besar, kanker payudara, diabetes, autisme, dan kegemukan.
Pada alzheimer, mereka yang mewarisi mutasi gen pada kromosom 1, 14, dan
21, hampir pasti terkena penyakit ini pada usia 30-60 tahun.
Demikian
pula halnya dengan autisme. Ternyata 20 persen kasus autisme bersumber
pada gen abnormal karena hilang atau terduplikasi pada kromosom 15 dan
16. Suatu tes darah yang kini tengah dikembangkan untuk memindai 55 gen
mungkin bisa membantu mendiagnosis kondisi ini lebih dini.
Perkembangan IndonesiaLembaga
Biologi Molekuler Eijkman, yang turut berpartisipasi dalam proyek
pemetaan genom, telah melakukan studi DNA pada sejumlah suku di
Indonesia. Pada beberapa penyakit ternyata mutasinya spesifik sesuai
kelompok etnik.
Soal talasemia, misalnya. Mutasi beta talasemia
yang menyebabkan sel darah merah tidak cukup memiliki hemoglobin,
berbeda spektrumnya pada orang Jawa, Melayu, dan Makassar. Berdasarkan
pemahaman mutasi ini, Lembaga Eijkman berhasil mengembangkan metode
diagnosis prenatal pertama di dunia.
Demikian pula halnya dengan
diabetes melitus yang dipicu oleh reaksi gen di mitokondria terhadap
gaya hidup. Mutasi gen ini di Indonesia 10-40 persen, bandingkan dengan
orang Eropa 10 persen dan Asia 30 persen. Persentase semakin besar
artinya semakin rentan terkena diabetes.
Tidaklah mengherankan
jika bermunculan perusahaan uji genetik, seperti 23andMe di AS. Sejak
berdiri pada 2006, lebih dari 180.000 orang telah menjalani tes dengan
biaya yang semakin murah: dari 999 dollar AS untuk 14 sifat spesifik
menjadi 99 dollar untuk lebih dari 200 sifat saat ini.