GUANGZHOU,
Batuk ternyata tak hanya dialami manusia. Tikus yang biasa digunakan
dalam percobaan di laboratorium pun ternyata bisa batuk. Fakta ini
terungkap dari hasil percobaan yang dilakukan oleh sekelompok tim
peneliti dari Guangzhou Medical College di China yang telah
dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE hari Kamis (21/3/2013) lalu.
Dalam percobaan, tim peneliti memberikan serbuk halus capsaicin, molekul yang membuat cabai terasa pedas, ke 40 tikus. Mereka kemudian ditaruh di sebuah mesin pletysmograph yang mengukur perubahan volume tubuh saat udara mengalir masuk dan keluar tubuh tikus. Tak hanya itu, tim peneliti juga mencoba mendengarkan suara yang dihasilkan tikus melalui mikrofon mini, dan mengamati pergerakan tubuh mereka.
Hasilnya, tikus-tikus yang diuji coba ternyata mengalami batuk ketika diberikan capsaicin. Bahkan, suara bersin, ketukan gigi, garukan hidung, dan sentakan kepala mereka pun bervariasi. Di antara suara-suara yang dihasilkan, peneliti berhasil mengidentifikasi kalau suara "ledakan" ketika tikus batuk bertepatan dengan gerakan melempar kepala mendadak, sentakan pada bagian abdominal, dan mulut yang terbuka.
Batuk yang dialami tikus-tikus itu mengalami penurunan secara dramatis setelah peneliti memberikan obat penekan batuk seperti kodein. Pemberian capsaicin sebelum percobaan juga dapat membantu menekan batuk selama masa percobaan. Tampaknya pemberian itu telah mengurangi sensitivitas saraf tikus terhadap capsaicin.
Dengan penemuan ini, peneliti mengusulkan bahwa tikus juga bisa digunakan dalam percobaan untuk pembuatan obat batuk sirup dan obat lainnya untuk melawan batuk. Adapun Erich Jarvis, pakar behavioural neurobiology dari Duke University Medical Center, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyebut bahwa penelitian mengungkap perilaku lain dari tikus yang menurut kebanyakan orang tidak mungkin bisa mereka lakukan.
"Akan sangat menarik untuk dilihat, jika memungkinkan, melihat tikus yang batuk dengan sendirinya (tanpa diberi rangsangan), dan mengetahui mekanisme saraf, apakah yang bekerja di otak pada saat itu," kata Jarvis kepada LiveScience yang dikutip pada hari Jumat (29/3/2013). "Seandainya mereka bisa batuk dengan sendirinya, mungkin sirkuit saraf untuk batuk tersebut merupakan prekursor untuk sirkuit komunikasi vokal mereka," tandasnya.
Dalam percobaan, tim peneliti memberikan serbuk halus capsaicin, molekul yang membuat cabai terasa pedas, ke 40 tikus. Mereka kemudian ditaruh di sebuah mesin pletysmograph yang mengukur perubahan volume tubuh saat udara mengalir masuk dan keluar tubuh tikus. Tak hanya itu, tim peneliti juga mencoba mendengarkan suara yang dihasilkan tikus melalui mikrofon mini, dan mengamati pergerakan tubuh mereka.
Hasilnya, tikus-tikus yang diuji coba ternyata mengalami batuk ketika diberikan capsaicin. Bahkan, suara bersin, ketukan gigi, garukan hidung, dan sentakan kepala mereka pun bervariasi. Di antara suara-suara yang dihasilkan, peneliti berhasil mengidentifikasi kalau suara "ledakan" ketika tikus batuk bertepatan dengan gerakan melempar kepala mendadak, sentakan pada bagian abdominal, dan mulut yang terbuka.
Batuk yang dialami tikus-tikus itu mengalami penurunan secara dramatis setelah peneliti memberikan obat penekan batuk seperti kodein. Pemberian capsaicin sebelum percobaan juga dapat membantu menekan batuk selama masa percobaan. Tampaknya pemberian itu telah mengurangi sensitivitas saraf tikus terhadap capsaicin.
Dengan penemuan ini, peneliti mengusulkan bahwa tikus juga bisa digunakan dalam percobaan untuk pembuatan obat batuk sirup dan obat lainnya untuk melawan batuk. Adapun Erich Jarvis, pakar behavioural neurobiology dari Duke University Medical Center, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyebut bahwa penelitian mengungkap perilaku lain dari tikus yang menurut kebanyakan orang tidak mungkin bisa mereka lakukan.
"Akan sangat menarik untuk dilihat, jika memungkinkan, melihat tikus yang batuk dengan sendirinya (tanpa diberi rangsangan), dan mengetahui mekanisme saraf, apakah yang bekerja di otak pada saat itu," kata Jarvis kepada LiveScience yang dikutip pada hari Jumat (29/3/2013). "Seandainya mereka bisa batuk dengan sendirinya, mungkin sirkuit saraf untuk batuk tersebut merupakan prekursor untuk sirkuit komunikasi vokal mereka," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar