Dengan teropong elektron, manusia mengetahui keberadaan jutaan 
bintang di jagat raya. Dengan neutrino, ilmuwan berharap menemukan batas
 semesta ini. Penelitian partikel yang jauh lebih kecil dari elektron, 
nyaris tak bermassa, dan berkecepatan mendekati kecepatan cahaya itu 
kini terus dilakukan.
Neutrino adalah salah satu jenis partikel 
elementer (fermion) yang memiliki massa sangat kecil. Gabungan tiga 
jenis neutrino (neutrino elektron, neutrino muon, dan neutrino tao) 
hanya bermassa kurang dari 0,28 eV (elektron-Volt). Bandingkan dengan 
masa elektron yang sebesar 105,6 MeV (Mega-elektron-Volt).
Sesungguhnya
 massa neutrino belum dapat terukur secara akurat dengan teknologi 
instrumentasi yang ada. Kendalanya, partikel subatom ini tidak bermuatan
 listrik sehingga tidak berinteraksi dengan partikel lain. Itulah 
sebabnya, neutrino dengan mudah melewati materi apa pun di jagat raya, 
termasuk Bumi.
Neutrino sulit terdeteksi dan susah ”ditangkap” 
meskipun tersebar di muka Bumi karena kemunculannya menyertai paparan 
sinar Matahari ke Bumi. Setiap detik, ada sekitar 65 miliar neutrino 
dari Matahari melewati areal seluas satu sentimeter persegi di muka 
Bumi.
Neutrino sesungguhnya bukan material baru. Partikel renik 
ini mulai menjadi perhatian banyak periset setelah ditemukan dan 
dipublikasikan oleh fisikawan Austria, Wolfgang Pauli, pada tahun 1930.
Ada
 serangkaian tonggak sejarah penemuan neutrino, di antaranya penamaan 
partikel tersebut oleh Enrico Fermi yang menjulukinya ”neutrino”, 
artinya si kecil yang netral. Lalu penemuan tiga jenis atau variasi 
neutrino pada tahun 1956 oleh Fred Reines dan Clyde Cowan dalam 
eksperimen di reaktor nuklir. Reines kemudian meraih Hadiah Nobel Fisika
 tahun 1995.
Upaya mengukur massa neutrino berhasil dilakukan 
peneliti di Observatorium Kamiokande Super di Jepang yang mulai 
beroperasi tahun 1996. Observatorium ini terletak 1.000 meter di bawah 
tanah di Tambang Mozumi di daerah Kamioka Hida.
Detektor neutron 
yang digunakan antara lain berupa tabung foto sebanyak 13.000 buah yang 
ditanamkan dalam tanah pada kedalaman hingga 2 kilometer (km). 
Penelitian ini menemukan ukuran neutrino yang juga disebut partikel 
”titik”, yaitu sepersejuta massa elektron atau di bawah dua elektron 
volt.
Penelitian yang dilakukan setelah itu belum mencapai 
perkembangan berarti. Salah satu riset yang relatif baru adalah OPERA 
(Oscillation Project with Emulsion-Racking Apparatus) yang dilaporkan 
peneliti di European Organization for Nuclear Research (CERN) pada tahun
 2011.
Dalam penelitian itu dilakukan penembakan partikel 
neutrino menembus Bumi dari CERN Swiss hingga ke Gran Sasso National 
Laboratory di Italia. Bila ditarik garis lurus dari penampang Bumi, 
jaraknya mencapai 730 km dengan kedalaman 1.400 meter. Penelitian selama
 tiga tahun itu bertujuan mengukur waktu kedatangan 15.000 neutrino.
Mereka
 sempat menyebutkan neutrino berkecepatan 299.798 km per detik, yaitu di
 atas cahaya, yang 299.792 km per detik. Namun, hasil itu kemudian 
dikoreksi karena ternyata saat pengukuran terjadi gangguan teknis pada 
salah satu kabel di instalasi yang digunakan.
Penelitian ulang 
yang dilakukan tim dari Imaging Cosmic and Rare Underground Signals 
(ICARUS) di lokasi sama menunjukkan kecepatan neutrino sama dengan 
kecepatan cahaya, tidak superluminal (lebih cepat dari cahaya).
Kutub Selatan
Penelitian
 dilakukan pula di Kutub Selatan. Namun, pengukuran partikel bersifat 
unik ini harus tetap jauh dari permukaan Bumi, yaitu dengan menempatkan 
detektor neutrino di bawah tanah. Tujuannya untuk mengurangi pengaruh 
distorsi dari sinar kosmis.
Di lokasi itu, neutrino yang dapat 
menembus Bumi tidak terkontaminasi oleh partikel lain. ”Di lapisan 
sangat keras di dasar Bumi diharapkan banyak neutrino yang tertangkap,” 
kata Terry Mart, pakar fisika nuklir dan partikel teoretis dari 
Universitas Indonesia.
Di Kutub Selatan, peneliti dari 
Universitas Wisconsin-Madison Amerika membangun Ice Cube (Kubus Es). 
Bangunan dalam lapisan es ini berukuran tidak tanggung-tanggung, 
tingginya lebih dari 2,45 km atau hampir delapan kali tinggi Menara 
Eiffel di Paris.
Dalam bangunan raksasa itu terjulur 86 kabel 
hingga kedalaman 2.450 meter. Tiap kabel menahan 60 modul optik digital 
yang masing-masing memuat 5.160 sensor. Pemasangan banyak sensor dan 
jauh di bawah lapisan es bertujuan menangkap neutrino lebih baik. Modul 
ini dirancang tahan beroperasi dalam lingkungan yang sangat ekstrem 
selama minimal 20 tahun.
Teropong semesta
Pada
 masa mendatang, para ilmuwan berharap dapat menggunakan sifat partikel 
subatom yang kekal ini dan tembus materi apa pun sebagai teropong untuk 
mencapai batas alam semesta. Kemampuannya diharapkan lebih baik dari 
teleskop elektron.
Menurut teori Dentuman Besar (Big Bang), alam 
semesta berawal dari suatu ledakan obyek yang sangat panas dan terus 
berekspansi hingga saat ini. Sisa-sisa radiasi kosmik—akibat dentuman 
besar itu—dalam bentuk gelombang mikro ditemukan oleh fisikawan Arno 
Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1964.
Penemuan neutrino 
diharapkan bisa mendukung lebih lanjut penelitian fenomena tersebut. 
Dalam jumlah yang amat sangat banyak neutrino ini tentu akan bisa 
memengaruhi ekspansi alam semesta.
Hal ini dimungkinkan karena 
pada 23 Februari 1987, Super- Kamiokande untuk pertama kalinya 
mendeteksi neutrino dari ledakan supernova yang terjadi di Large 
Magellanic Cloud. Pengamatan ini menegaskan bahwa teori ledakan 
supernova adalah benar dan membuka era baru dalam astronomi neutrino.
                            
Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:
Posting Komentar