CIBINONG, KOMPAS.com - Kekayaan sumber daya genetika disertai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya yang melimpah di Indonesia belum terpetakan. Padahal, pemetaannya akan menunjang program pembagian manfaat seperti amanat Protokol Nagoya.
”Protokol Nagoya merupakan kemenangan bagi bangsa kita sebagai pemilik sumber daya genetika terbesar di dunia. Pengintegrasian data yang sekarang tersebar di berbagai institusi masih diperlukan,” kata Endang Sukara, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (5/12/2012), sebagai pembicara kunci pada Simposium Sumber Daya Genetika di Pusat Sains Cibinong LIPI, Cibinong, Jawa Barat.
Endang mengatakan, masalah implementasi Protokol Nagoya sudah disampaikan kepada DPR. Penetapan regulasi menunggu database sumber daya genetika.
Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Siti Nuramaliati Prijono mengatakan, LIPI mengelola herbarium dan museum zoologi dengan koleksi saat ini mencapai 2 juta spesimen. Spesimen yang paling sedikit dari laut.
”Saat ini LIPI hanya memiliki lima orang taksonom maritim. Jumlah yang sedikit ini belum memungkinkan untuk mengetahui secara optimal sumber daya genetika kelautan,” kata Siti.
Endang mengatakan, dari hasil penelitian hutan sekunder di Jambi, pada area 1 hektar saja teridentifikasi 300 jenis tumbuhan berdiameter batang lebih dari 2 sentimeter. Kekayaan sumber daya genetika berupa mikroorganisme belum terpetakan.
”Ini menunjukkan berlimpahnya sumber daya genetika kita,” kata dia.
Penguasaan data sumber daya genetika, menurut Endang, bermanfaat untuk mencapai pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetika itu. Mekanismenya meliputi izin akses, kesepakatan transfer material, izin pemanfaatan komersial, dan perjanjian kerja sama riset dan pengembangan. (NAW)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar