shutterstock
Kompas.com -
Tersenyum dan mendapatkan balasan senyuman, bahkan dari orang yang
belum kita kenal, bisa membuat hati menjadi cerah. Tetapi ternyata
kecenderungan seseorang untuk merespon senyuman tergantung dari posisi
atau status kekuasaan mereka.
Penelitian yang dipimpin oleh Evan Carr dari University of California ini melibatkan 55 peserta yang dibagi menjadi dua kelompok. Peserta dalam kelompok satu diperintahkan untuk menulis esai menggambarkan peristiwa yang baik dalam hidup mereka, sementara kelompok dua menulis tentang pengalaman negatif. Para peneliti menginstruksikan relawan untuk menulis esai sebagai cara untuk memicu munculnya perasaan positif maupun negatif.
Relawan juga disambungkan ke monitor untuk mengukur stimulasi elektrik dari wajah mereka ketika menulis esai. Monitor mengukur ygomaticus majo yang mengontrol gerakan bibir yang berhubungan dengan senyuman, dan corrugator supercilii yang mengontrol kerutan kening di alis. Selain itu, para relawan juga dipertontonkan video orang yang memiliki kekuasaan tinggi dan orang yang dianggap memiliki status rendah.
Penelitian yang dipublikasikan pada konferensi Society of Neuroscience ini mengungkapkan bahwa orang-orang yang merasa lebih memiliki kekuatan cenderung untuk tersenyum sebagai respon kepada senyum seseorang jika orang yang tersenyum itu dianggap kurang berkuasa atau statusnya lebih rendah.
Sebaliknya, jika seseorang yang tersenyum itu dianggap lebih berkuasa, maka mereka tidak merespon senyumnya. Orang-orang yang menganggap diri mereka kurang berkuasa memiliki kecenderungan untuk merespon senyuman pada siapa pun.
Carr percaya orang yang tersenyum kembali pada orang lain sebagai cara untuk menampilkan status mereka sendiri. Orang-orang yang menahan senyum pada orang lain yang mereka dianggap lebih kuat adalah cara untuk menghindari sangkaan sikap pamer.
Sementara orang yang menganggap dirinya kurang kuat tersenyum kembali sebagai cara untuk menunjukkan penyerahan. Selain itu, Carr menemukan bahwa orang cenderung akan mengerutkan kening kembali kepada orang yang mengerutkan kening kepadanya, terlepas dari kekuasaan maupun statusnya.
Penelitian yang dipimpin oleh Evan Carr dari University of California ini melibatkan 55 peserta yang dibagi menjadi dua kelompok. Peserta dalam kelompok satu diperintahkan untuk menulis esai menggambarkan peristiwa yang baik dalam hidup mereka, sementara kelompok dua menulis tentang pengalaman negatif. Para peneliti menginstruksikan relawan untuk menulis esai sebagai cara untuk memicu munculnya perasaan positif maupun negatif.
Relawan juga disambungkan ke monitor untuk mengukur stimulasi elektrik dari wajah mereka ketika menulis esai. Monitor mengukur ygomaticus majo yang mengontrol gerakan bibir yang berhubungan dengan senyuman, dan corrugator supercilii yang mengontrol kerutan kening di alis. Selain itu, para relawan juga dipertontonkan video orang yang memiliki kekuasaan tinggi dan orang yang dianggap memiliki status rendah.
Penelitian yang dipublikasikan pada konferensi Society of Neuroscience ini mengungkapkan bahwa orang-orang yang merasa lebih memiliki kekuatan cenderung untuk tersenyum sebagai respon kepada senyum seseorang jika orang yang tersenyum itu dianggap kurang berkuasa atau statusnya lebih rendah.
Sebaliknya, jika seseorang yang tersenyum itu dianggap lebih berkuasa, maka mereka tidak merespon senyumnya. Orang-orang yang menganggap diri mereka kurang berkuasa memiliki kecenderungan untuk merespon senyuman pada siapa pun.
Carr percaya orang yang tersenyum kembali pada orang lain sebagai cara untuk menampilkan status mereka sendiri. Orang-orang yang menahan senyum pada orang lain yang mereka dianggap lebih kuat adalah cara untuk menghindari sangkaan sikap pamer.
Sementara orang yang menganggap dirinya kurang kuat tersenyum kembali sebagai cara untuk menunjukkan penyerahan. Selain itu, Carr menemukan bahwa orang cenderung akan mengerutkan kening kembali kepada orang yang mengerutkan kening kepadanya, terlepas dari kekuasaan maupun statusnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar