Kompas.com/Ronny Adolof Buol
Abu letusan Gunung Lokon mencapai ketinggian hingga 3500 meter pada Rabu (28/11/2012).
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengatakan, letusan Lokon terjadi pada pukul 10.05 Wita. Ketinggian asap mencapai 3 kilometer dari Kawah Tompaluan. ”Satu stasiun seismik mati karena terkena material letusan,” katanya.
Petugas pemantau Gunung Lokon dan Mahawu, Farid Bina Ruskanda, mengatakan, letusan pagi itu diikuti empat letusan, yaitu pukul 12.11, 12.58, 13.20, dan 14.43. Hingga Rabu malam, Lokon masih menyemburkan asap hitam setinggi 500 meter.
Wali Kota Tomohon Jemmy Eman mengatakan, letusan Lokon terdengar keras dari kantornya yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kawah. Meski demikian, letusan Lokon tak memengaruhi aktivitas warga Tomohon karena abu vulkanik terbawa angin ke arah barat daya, yakni ke arah Tombariri dan Tanawangko. ”Kami telah menyiapkan tim penanggulangan bencana yang terus bersiaga 24 jam,” katanya.
Sebelum meletus pada Rabu pagi, Gunung Lokon hanya beristirahat selama dua hari. Pada Senin, Lokon meletus dua kali. ”Kami merekomendasikan tidak ada aktivitas masyarakat hingga radius 2,5 km dari Kawah Tompaluan,” kata Surono.
Lokon berstatus Awas sejak 10 Juli 2011 dan empat hari kemudian meletus. Letusan itu menyebabkan kebakaran hutan di sekitar Kawah Tompaluan dan memicu kepanikan masyarakat. Walaupun tidak ada korban jiwa, jumlah pengungsi saat itu mencapai sekitar 6.000 jiwa.
Sejak Juli 2011 hingga saat ini, Lokon terus-menerus meletus, nyaris tanpa jeda. ”Sejak Juli 2011, paling tidak Lokon sudah meletus 800 kali,” kata Surono.
Padahal, menurut Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), sebelum tahun 1800, selang waktu erupsi Gunung Lokon sangat lama, yaitu mencapai 400 tahun. Sesudah 1949, frekuensi letusannya meningkat tajam, yaitu rata-rata setiap tiga tahun.
Gempa Aceh
Surono menduga, perubahan karakter Lokon dipengaruhi oleh gempa Aceh pada 2004. Selain Lokon, gunung lain yang juga berubah karakternya adalah Gunung Karangetan, juga di Sulawesi Utara. Jika sebelumnya gunung ini memiliki karakter erupsi eksplosif dengan fase letusan dua sampai tiga tahun, kini hampir sepanjang tahun Karangetan membangun kubah lava.
”Karakter ini ditiru oleh Gunung Ibu di Halmahera,” kata Surono.
Perubahan karakter juga ditunjukkan Gunung Merapi di Yogyakarta. Pada 20 Agustus 2012, Merapi erupsi kecil dengan mengeluarkan asap putih kecoklatan berketinggian hingga 70 meter. Sebelumnya, pada 15 Juli 2012, Merapi juga menyemburkan asap hingga ketinggian lebih dari 1.000 meter dari puncak.
Padahal, letusan Merapi biasanya sangat eksplosif dengan periode lima tahunan. Sebelum periode letusan, karakter Merapi biasanya tenang.
Menurut Surono, perubahan karakter juga ditunjukkan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Sinabung, yang digolongkan gunung api Tipe B, yang artinya tidak pernah tercatat meletus sejak tahun 1600-an, tiba-tiba meletus pada 29 Agustus 2010.
Sebelumnya, peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menjelaskan, gempa bumi akan melepaskan tegangan yang bersifat dinamis dan statis. Tegangan dinamis dilepaskan lewat gelombang gempa dan respons waktu tegangan statis bisa sangat panjang.
Dia menyebutkan, tidak semua gunung api memiliki respons tinggi terhadap gempa tektonik, bergantung pada lokasi dan orientasi sumber gempa terhadap gunung api. Selain itu, juga sangat dipengaruhi kondisi gunung api itu sendiri. Gunung api yang dapur magmanya dalam dan tingkat aktivitasnya rendah mungkin tidak terpengaruh. (AIK/ZAL)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar