Social Icons

Selasa, 23 April 2013

Penyakit Raja Singa Kemungkinan "Sulit Diobati"

Bakteri Neisseria gonorrhoeae penyebab penyakit Raja Singa


Penyakit kelamin jenis gonore (dikenal di Indonesia dengan nama kencing nanah atau raja singa) kemungkinan akan segera menjadi jenis penyakit yang kebal pengobatan antibiotika.

Sebuah konferensi para pakar mikrobiologi di Inggris akan mengumumkan peringatan terbaru terkait upaya penyembuhan penyakit kelamin yang diisebabkan bakteri Neisseria gonorrhoeae ini pada Selasa (23/4/2013).

Penyakit kelamin menjadi ancaman serius dalam upaya kesehatan dunia. Sebab, menurut PBB, setidaknya aktivitas seksual tak aman saat ini telah menyebabkan penyebaran penyakit kelamin hingga seratus juta kasus lebih secara global setiap tahun.

Seorang pakar mikrobiologi asal Inggris, Professor Cathy Ison, akan menjadi pembicara dalam konferensi tersebut dan menyatakan akan menyerukan pada berbagai otoritas kesehatan dunia agar melakukan berbagai tindakan pencegahan penyebaran penyakit kelamin, sementara penelitian mencari terobosan pengobatan terbaru dilakukan.

Professor Ison akan menyerukan agar upaya pencegahan penyebaran gonorrhea dilakukan dengan kampanye seks aman dan pemeriksaan rutin.

Dengan demikian, diharapkan penyebaran gonorrhea setidaknya dapat diikuti dengan temuan pola pengobatan baru untuk menggantikan metode antibiotika yang sudah tak mempan lagi.

Sumber :
»»  READMORE...

Senin, 22 April 2013

Hobi Berkebun Bikin Langsing




Melihat tanaman dan bunga-bunga tumbuh subur berkat kesukaan kita berkebun memang menyenangkan. Namun ada manfaat lain yang bisa Anda dapatkan dengan berkebun, yakni membuat tubuh lebih langsing.
Sebuah studi baru mengatakan, orang yang hobi berkebun rata-rata memiliki indeks massa tubuh atau body mass index (BMI) yang lebih rendah daripada mereka yang tidak.

Penulis studi Cathleen Zick, profesor dari Universitas of Utah mengatakan, sebelumnya sudah diketahui bahwa berkebun dapat memberikan manfaat positif. "Namun hingga sekarang, kami belum memiliki data yang menunjukkan keuntungan kesehatan yang dapat diukur dari mereka yang berkebun," ujarnya.

Zick dan timnya menelaah BMI dari 198 orang dengan hobi berkebun di Salt Lake City. Para peneliti membandingkan mereka dengan tetangganya yang tidak memiliki hobi yang sama. BMI merupakan pengukuran lemak tubuh berdasarkan tinggi dan berat tubuh.

BMI dari wanita yang hobi berkebun rata-rata 1,84 poin lebih rendah dari tetangganya yang tidak. Sedangkan bagi pria yang hobi berkebun rata-rata memiliki BMI 2,36 poin yang lebih rendah daripada tetangganya yang tidak.

Menurut studi yang dimuat dalam American Journal of Public Health ini, mereka yang hobi berkebun juga memiliki kecenderungan lebih rendah untuk berkelebihan berat badan. Bagi pria kemungkinannya 62 persen lebih rendah, sedang bagi wanita 46 persen lebih rendah dibandingkan dengan tetangganya yang tidak.

Para peneliti juga menemukan, mereka yang hobi berkebun juga memiliki BMI yang lebih rendah daripada saudara kandungnya yang berjenis kelamin sama. Rata-rata BMI wanita dengan hobi berkebun 1,88 poin lebih rendah daripada saudara perempuannya, dan pria dengan hobi berkebun 1,33 poin lebih rendah daripada saudara laki-lakinya.

Menariknya, manfaat ini juga berlaku bagi pasangan wanita atau pria yang memiliki hobi berkebun. Para peneliti mencatat, pasangan cenderung untuk membantu kegiatan berkebun dan mendapat makanan yang lebih sehat hasil berkebun.

"Temuan ini mendukung ide bahwa hobi berkebun merupakan aset untuk memperbaiki gaya hidup yang lebih sehat," ujar Zick. Kendati demikian, studi ini belum dapat menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Sumber :
Healthday News
»»  READMORE...

Bayi Kenal Lingkungannya di Usia 5 Bulan






Meski tampak lemah dan tak berdaya, bayi ternyata sudah mulai mengenali lingkungan sekitarnya di usia 5 bulan. Hal ini disebabkan mekanisme internal dalam otak untuk menerima fakta yang ada di sekelilingnya seperti halnya pada orang dewasa, sudah berfungsi sempurna.

Sebetulnya pada usia tiga bulan  jumlah sambungan otak pada bayi mencapai 3 triliun sambungan. Jumlah tersebut akan meningkat tiga kali lipat dalam setahun pertama usianya. Para ilmuwan selalu ingin tahu apa saja sebetulnya yang sudah diketahui bayi pada usia 3 bulan dan bagaimana mereka mengetahuinya.

“Pada usia lima bulan, fungsi mekanisme internal  otak sudah meyerupai orang dewasa. Kendati para bayi tidak bisa mengatakan apa saja yang dilihatnya,” kata pemimpin riset Dr. Sid Kouider dari École Normale Supérieure, Paris. Studi yang dilakukan tim French neuroscientists ini telah dipublikasikan di jurnal Science. Penelitian menggunakan 80 bayi berusia 5, 12 dan 15 bulan. Para partisipan ditunjukkan foto wajah manusia dan dilihat bagaimana responnya.

Para bayi menggunakan “topi” yang penuh elektroda dan kemudian ditunjukkan sebuah foto yang sama beberapa kali. Awalnya sebuah foto ditunjukkan dalam waktu yag tidak lama. Waktu ini bahkan relatif cepat bagi orang dewasa untuk bisa mengingat sebuah foto. Lamanya waktu perlahan ditingkatkan. Setiap foto ditampilkan pada layar komputer, yang dilengkapi bel penanda untuk menarik perhatian bayi.

Biasanya pada orang dewasa, area otak yang berkaitan dengan visual tanpa disadari akan aktif walau foto ditampilkan dalam waktu tidak lama. Ketika sebuah foto ditampilkan dalam waktu setidaknya 300 milidetik, neuron akan mengirim sinyal dari pusat penglihatan yang terdapat di bagian belakang otak. Sinyal ini kemudian dikirim ke daerah prefrontal cortex yang ada di bagian depan otak. Mekanisme orang dewasa dan bayi ternyata sama dalam menyimpan memori dan menyadari wajah pada sebuah foto. Sinyal ini disebut later slow wave atau nonlinear cortical response.

Aktivitas virtual cortex dan later slow wave ditemukan pada setiap responden bayi. Respon paling lemah ditemukan pada bayi termuda, dan hanya ditemukan bila foto ditunjukkan dalam  waktu 900 milidetik sampai lebih dari satu detik. Pada bayi tertua responnya lebih signifikan dan terlihat walau foto hanya ditunjukkan selama 750 milidetik.

“Kami percaya nonlinear cotrical bisa menjadi penanda kapan pikiran disebut sadar,” kata Kouider. Kesadaran ini berhubungan degan kerja otak yang terus bisa menangkap rangsang, walau kekuatan stimulan lemah.

Hasil temuan ini bisa diaplikasikan pada orang dewasa yang tidak mampu mengkomunikasikan apa yang dilihatnya, misalnya pada pasien koma. Teknik yang sama bisa diaplikasikan kalangan profesioal medis, untuk mengerti persepsi penyakit atau hasil pembiusan pada anak.


Sumber :
Medical News Today
»»  READMORE...

Siapa Bilang Ayah tak Lihai Kenali Tangis Bayi?

Bayi sudah membangun kelekatan dan merasa nyaman bila berada di dekat orang yang memenuhi kebutuhannya dan memberinya kasih sayang.
Faktor gender ternyata tak menentukan kemampuan orangtua dalam mengenali tangisan bayi mereka. Intesitas dan kebersamaan orangtua dengan anak ternyata lebih memegang peranan. Hasil penelitian ini mengindikasikan, mungkin saja tidak ada yang disebut naluri keibuan. Kemampuan mengenali tangisan bayi, bukan hanya monopoli sang ibu, tetapi bisa saja menjadi milik ayah.

Ini merupakan analisa para ahli dari The University of Saint-Etienne, Paris, Prancis. Dipimpin Prof. Nicolas Mathevon, tim ilmuwan ini merekam 29 tangisan bayi berusia 58 hingga 153 hari. Sebanyak 15 bayi berasal dari Paris, sementara 14 bayi dari Democratic Republic of Congo.  Ilmuwan berharap dapat melihat hubungan antara kultur negara dengan pola asuh orangtua dalam mengenali tangisan bayi.

“Ayah dan ibu sama baiknya dalam mengenali tangisan anak. Kemampuan ini sangat ditentukan seringnya menghabiskan waktu bersama. Kebudayaan tidak ada masalah sepanjang orangtua asering menghabiskan waktu bersama anak,” kata Nicolas yang penelitiannya dimuat dalam jurnal Nature Communications.

Para orangtua yang terdiri atas 29 ibu dan 27 ayah diperdengarkan 5 tangisan bayi. Tangisan bayi yang direkam adalah saat bayi mandi, dan bermain bersama orangtua. Dari kelima rekaman tersebut, orangtua diminta menebak yang mana bayi mereka.

Hasilnya, sekitar 90 persen orangtua mengenali tangisan bayinya. Ada 98 persen ibu yang berhasil mengenali tangisan bayinya, sedangkan ayah mendapat porsi 90 persen. Ayah yang hanya menghabiskan waktu bersama bayi kurang dari 4 jam sehari, hanya berhasil mengidetifikasi tangisan sebesar 75 persen. Hal yang sama berlaku juga pada ibu yang jarang meluangkan waktu bersama bayinya.

Ikatan yang erat antara orangtua dan anak menjadi jawabannya. Semakin sering meluangkan waktu bersama, orangtua semakin mengenali bagaimana karakter anak termasuk suara tangisannya. Sebaliknya, anak juga semakin nyaman dengan kehadiran orangtua di dekatnya.




Ayah dan ibu sama baiknya dalam mengenali tangisan anak. Kemampuan ini sangat ditentukan seringnya menghabiskan waktu bersama. Kebudayaan tidak ada masalah sepanjang orangtua sering menghabiskan waktu bersama anak.

Sumber :
»»  READMORE...

Wajarkah Jika Sering Lupa Nama Orang?

Pernahkah Anda melupakan nama orang setelah baru berkenalan? Atau melupakan nama orang yang jarang Anda temui dan baru mengingatnya setelah beberapa saat kemudian? Tenang, itu bukan tanda-tanda Anda mengalami pikun atau penyakit ingatan lainnya. Bisa jadi otak Anda hanya kelebihan muatan.

Para pakar saraf di University of Sussex mengungkap misteri tentang kemampuan otak untuk mengingat. Mereka mengatakan, otak mungkin dapat melupakan sesuatu yang baru dipelajari, namun dapat mengingat kembalinya beberapa jam kemudian. Selama periode "lupa", mungkin Anda benar-benar tidak dapat mengakses ingatan tentang hal baru tersebut.

Meskipun para peneliti belum sepenuhnya mengerti mengapa "penyimpangan" tersebut terjadi. Mereka menyakini, hal tersebut merupakan bagian penting dari proses otak untuk menghindari kelebihan informasi.

Para peneliti mengatakan, gangguan selama "penyimpangan" ingatan ini akan mengganggu proses mengingat atau pembentukan ingatan.

Salah satu ahli dr Ildiko Kemenes mengatakan, para peneliti sudah lama takjub dengan fenomena "penyimpangan" ingatan ini. Namun dengan memahami bahwa pembentukan ingatan membutuhkan energi, mungkin hal ini juga dapat dipahami.

"Otak mungkin perlu untuk memutuskan, perlukah menggunakan energi yang lebih besar untuk membentuk ingatan khusus. Otak memiliki kapasitas terbatas dalam mempelajari sesuatu sehingga menahan pembentukan ingatan dapat menjadi cara untuk menghindari kelebihan muatan," tutur Kemenes.

Dalam studinya, Kemenes melakukan percobaan pada siput. Ia memberikan zat yang tidak diketahui untuk dikonsumsi siput. Tujuannya adalah untuk melihat apakah siput akan belajar untuk mengenali zat tersebut sebagai makanan.

Ketika siput diberi makan lagi setelah tiga puluh menit, ternyata siput belum dapat mengingat zat tersebut. Begitu pula setelah dua jam. Baru setelah empat jam, siput mulai untuk mengenali zat tersebut sebagai makanan. Maka saat itulah, para peneliti menyimpulkan ingatan sudah terbentuk. Gangguan selama periode itu, yaitu dengan memberikan siput stimulus lainnya, akan menghambat pembentukan ingatan.

Sumber :
»»  READMORE...

Detak Jantung Terlalu Cepat Tingkatkan Risiko Kematian

Detak jantung yang terlalu cepat saat seseorang sedang beristirahat perlu diwaspadai karena bisa meningkatkan risiko kematian. Risiko tersebut bahkan tetap tinggi meski mereka secara fisik sehat dan fit.

Detak jantung saat beristirahat adalah detak jantung permenit ketika seeorang sedang duduk atau berbaring selama 10 menit. Mereka yang detak jantungnya antara 60-100 per menit dianggap normal.

Detak jantung saat beristirahat dipengaruhi oleh sirkulasi hormonal, level aktivitas fisik, serta sistem saraf otonomik.

Selama ini diketahui bahwa orang yang sangat aktif secara fisik biasanya memiliki detak jantung istirahat yang lebih rendah. Namun, para peneliti juga ingin mengetahui apakah detak jantung memiliki pengaruh pada risiko kematian, terlepas dari level olahraga kebugaran yang dilakukan.

Sekitar 3000 orang pria sehat yang berpartisipasi dalam Copenhagen Male Study dimonitor selama 16 tahun. Penelitian dimulai pada tahun 1970-1971 untuk melacak kesehatan kardiovaskular para responden di 14 perusahaan besar di Kopenhagen, Denmark.

Pada tahun 1971, seluruh partisipan diwawancara oleh dokter mengenai kesehatan dan gaya hidup, termasuk apakah mereka merokok dan berolahraga. Mereka juga diuji secara fisik, antara lain tes bersepeda untuk mengevaluasi level kardiorespiratori.

Tes kesehatan dilakukan lagi pada tahun 1985-1986 terhadap 3000 responden berupa pengukuran tekanan darah, tinggi badan, berat badan, kadar gula darah, serta lemak darah. Para peneliti juga mengukur detak jantung istirahat.

Untuk mengetahui usia harapan hidup, para partisipan disurvei 16 tahun kemudian. Ternyata sekitar 4 dari 10 partisipan meninggal dunia.

"Tidak mengejutkan bahwa detak jantung istirahat yang tinggi terkait dengan aktivitas fisik yang rendah, tekanan darah tinggi, berat badan, serta tingginya level lemak darah," tulis para peneliti dalam laporannya.

Seseorang yang nilai detak jantung istirahat antara 51-80 denyutan per menit mengalami peningkatan risiko kematian sampai 50 persen.

Sementara orang yang nilai detak jantung istirahatnya antara 81-90 denyutan per menit risikonya dua kali lipat dibanding dengan mereka yang denyutannya lebih rendah.  Makin tinggi nilai denyutan, makin besar risiko kematiannya.

Ketika faktor kebiasaan merokok juga diperhitungkan, diketahui setiap peningkatan detak jantung istirahat antara 12-27 persen akan meningkatkan risiko kematian sampai 20 persen.


Sumber :
»»  READMORE...

Pikiran Negatif Bisa Menular

Ilustrasi: Remaja
Faktor lingkungan berperan cukup besar dalam mempengaruhi cara kita menilai serta menyikapi sesuatu. Itu sebabnya menjadi penting untuk berhati-hati memilih lingkungan pertemanan. Sebuah studi baru bahkan mengatakan cara orang sekitar merespon peristiwa yang buruk, baik postif maupun negatif, dapat menular.

Seseorang yang berada dalam masa transisi, misalnya dari masa remaja ke usia dewasa, dinilai lebih gampang dipengaruhi cara berpikir orang di sekitarnya. Studi yang dimuat dalam jurnal Clinical Psychological Science tersebut juga mengatakan, pikiran negatif akan meningkatkan risiko mengalami depresi.

Para peneliti menganalisa pada 103 pasang mahasiswa baru yang menempati kamar yang sama. Di usia tersebut mereka dinilai punya kecenderungan lebih besar tertular pikiran negatif atau yang disebut dengan kerentanan kognitif. Studi menemukan, mereka yang memiliki kerentanan kognitif yang tinggi cenderung untuk mengalami peningkatan risiko depresi.

"Kami menemukan kerentanan kognitif para partisipan studi secara signifikan dipengaruhi oleh teman sekamarnya, begitu pula sebaiknya," tulis para peneliti. Teman sekamar yang terlibat dalam studi ini dipilih secara acak, bukan ditentukan oleh mahasiswa. Hanya tiga bulan setelah mereka tinggal di dalam satu kamar yang sama, penularan ini terjadi.

Para peneliti juga menemukan, mereka yang mengalami peningkatan kerentanan kognitif selama tiga bulan, mengalami tingkat gejala depresi yang meningkat pula. Kenaikan tingkat gejala depresi yang dialami adalah hampir dua kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengalami peningkatan kerentanan kognitif.

Sebelum penelitian ini, para peneliti menganggap kerentanan kognitif tidak banyak berubah setelah seseorang melewati masa remaja awal. Namun temuan baru menunjukkan bahwa saat seseorang ada dalam masa transisi pun dapat mengalami perubahan kerentanan kognitif.

Selain lingkungan, para peneliti mencatat ada faktor lain yang mempengaruhi kerentanan kognitif, yaitu faktor genetika dan biologis.


Sumber :
»»  READMORE...