Tentu Anda sering mendengar seseorang yang alergi terhadap kacang,
debu, atau pun kucing. Alergi-alergi tersebut mungkin dapat diatasi
dengan menghindari alergen atau pemicu alergi. Namun ternyata ada juga
alegi yang agak sulit untuk dihindari alergennya, terlebih bagi mereka
yang sudah menikah, yaitu alergi terhadap sperma.
Alergi sperma secara langsung ataupun tidak memang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Bagaimana tidak, wanita yang alergi sperma tentu akan menghindari hubungan seksual. Padahal, seks yang sehat dan teratur merupakan faktor penting dalam keutuhan perkawinan.
Seorang wanita asal California Utara, sebut saja Clara, mengalami alergi sperma ini. Ia mengalami bercak merah, bengkak, dengan rasa terbakar yang tidak biasa setelah berhubungan seks. Tadinya ia mengira, ia terkena penyakit menular seksual. Padahal wanita ini mengalami hipersensitivitas terhadap reaksi protein yang ada di dalam sperma suaminya.
"Itu sangat buruk, kami tidak bercinta selama 10 bulan terakhir," ujar suami Clara.
Direktur Ryan Family Planning Clinic di Oregon Health and Science University Portland Paula Bednarek mengatakan, alergi ini memang tidak umum. Faktanya, hanya satu di antara 40.000 wanita yang mengalaminya.
"Sperma mengubah keseimbangan pH dalam vagina untuk beberapa wanita, sehingga menimbulkan iritasi, pembengkakan, bahkan gatal-gatal," tutur Bednarek.
Hal yang senada juga diungkapkan Linda Ford, pakar alergi di Nebraska Medical Center di Omaha yang juga mantan presiden American Lung Association. "Mungkin selama 30 tahun, hanya ditemukan sekali," ujarnya.
Bercinta kembali
Seks merupakan sarana untuk menjaga intimasi dari pasangan suami istri, begitu pula Clara dengan suaminya. Semenjak mereka "berpuasa" bercinta untuk waktu agak lama, mereka merasa sangat jauh dan tidak intim. Bahkan mereka merasa seperti hanya teman sekamar daripada seperti pasangan suami istri.
Menurut situs Columbia University, pengobatan terbaik untuk kondisi ini adalah dengan mengenakan kondom. Namun ternyata, Clara tetap mengalami gejala alergi dengan cara tersebut.
Cara lainnya adalah dengan mengisolasi protein tertentu dalam semen suami lalu melakukan tes kulit untuk menentukan zat apa yang memicu alergi. Cara ini akan mengurangi sensitivitas wanita terhadap protein sperma.
Saat ini, Clara dan suaminya menjalani metode desensitisasi yang disebut dengan intravaginal graded challenge. Metode ini dapat mengencerkan sperma hingga suami hanya akan menginjeksikan sperma dengan konsentrasi yang sangat rendah lalu disuntikkan ke vagina istri. Kemudian mereka diminta melakukan hubungan seks dalam waktu 12 jam setelahnya. Metode ini cukup berhasil, karena setelah berhubungan, reaksi alergi Clara berkurang.
Berdasarkan informasi dari situs Columbia University, setelah istri berkurang sensitivitasnya, maka mereka harus terus melakukan hubungan seksual setiap dua hingga tiga hari sekali untuk menjaga keadaan yang serupa.
Prosedur ini mungkin mahal dan tidak tersedia di banyak tempat. Namun sangat berguna bagi mereka yang menderita alergi sperma, bahkan saat suami mereka memakai kondom.
»» READMORE...
Alergi sperma secara langsung ataupun tidak memang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Bagaimana tidak, wanita yang alergi sperma tentu akan menghindari hubungan seksual. Padahal, seks yang sehat dan teratur merupakan faktor penting dalam keutuhan perkawinan.
Seorang wanita asal California Utara, sebut saja Clara, mengalami alergi sperma ini. Ia mengalami bercak merah, bengkak, dengan rasa terbakar yang tidak biasa setelah berhubungan seks. Tadinya ia mengira, ia terkena penyakit menular seksual. Padahal wanita ini mengalami hipersensitivitas terhadap reaksi protein yang ada di dalam sperma suaminya.
"Itu sangat buruk, kami tidak bercinta selama 10 bulan terakhir," ujar suami Clara.
Direktur Ryan Family Planning Clinic di Oregon Health and Science University Portland Paula Bednarek mengatakan, alergi ini memang tidak umum. Faktanya, hanya satu di antara 40.000 wanita yang mengalaminya.
"Sperma mengubah keseimbangan pH dalam vagina untuk beberapa wanita, sehingga menimbulkan iritasi, pembengkakan, bahkan gatal-gatal," tutur Bednarek.
Hal yang senada juga diungkapkan Linda Ford, pakar alergi di Nebraska Medical Center di Omaha yang juga mantan presiden American Lung Association. "Mungkin selama 30 tahun, hanya ditemukan sekali," ujarnya.
Bercinta kembali
Seks merupakan sarana untuk menjaga intimasi dari pasangan suami istri, begitu pula Clara dengan suaminya. Semenjak mereka "berpuasa" bercinta untuk waktu agak lama, mereka merasa sangat jauh dan tidak intim. Bahkan mereka merasa seperti hanya teman sekamar daripada seperti pasangan suami istri.
Menurut situs Columbia University, pengobatan terbaik untuk kondisi ini adalah dengan mengenakan kondom. Namun ternyata, Clara tetap mengalami gejala alergi dengan cara tersebut.
Cara lainnya adalah dengan mengisolasi protein tertentu dalam semen suami lalu melakukan tes kulit untuk menentukan zat apa yang memicu alergi. Cara ini akan mengurangi sensitivitas wanita terhadap protein sperma.
Saat ini, Clara dan suaminya menjalani metode desensitisasi yang disebut dengan intravaginal graded challenge. Metode ini dapat mengencerkan sperma hingga suami hanya akan menginjeksikan sperma dengan konsentrasi yang sangat rendah lalu disuntikkan ke vagina istri. Kemudian mereka diminta melakukan hubungan seks dalam waktu 12 jam setelahnya. Metode ini cukup berhasil, karena setelah berhubungan, reaksi alergi Clara berkurang.
Berdasarkan informasi dari situs Columbia University, setelah istri berkurang sensitivitasnya, maka mereka harus terus melakukan hubungan seksual setiap dua hingga tiga hari sekali untuk menjaga keadaan yang serupa.
Prosedur ini mungkin mahal dan tidak tersedia di banyak tempat. Namun sangat berguna bagi mereka yang menderita alergi sperma, bahkan saat suami mereka memakai kondom.
Sumber :
Everyday Health