Sarang semut merah yang banyak ditemukan di Eropa, termasuk Jerman. Penelitian terakhir mendapatkan ada perubahan perilaku semut merah ketika gempa akan terjadi. |
VIENNA, Hingga saat ini, gempa bumi adalah jenis peristiwa alam yang paling
belum bisa diperkirakan kapan akan terjadi. Gempa baru diketahui ketika
getarannya sudah terasa. Namun, penelitian terakhir di Jerman
mendapatkan bakal terjadinya gempa bisa dirasakan semut merah hutan (red wood ant).
Penelitian
yang dilakukan Gabriele Berberich dari University Duisburg-Essen,
Jerman, menemukan perubahan perilaku semut ketika gempa bumi akan
terjadi. Gelagat bakal terjadinya gempa bisa diketahui dari
"kegelisahan" para semut ini, terlihat dari dilanggarnya pola hidup diurnal.
Semut adalah hewan dengan pola hidup normal diurnal,
yang aktif di siang hari untuk mengumpulkan makanan dan beraktivitas,
kemudian istirahat di malam hari. Namun, ketika gempa akan terjadi,
koloni semut merah ini akan terus terjaga sepanjang malam di luar sarang
mereka sekalipun situasi ini membuat mereka rentan diserang pemangsa.
Saat
gempa usai, perilaku normal akan kembali meskipun tak serta-merta.
Dalam penelitian itu, perilaku semut merah terpantau normal sehari
setelah gempa berlalu.
Rekaman tiga tahun
Gabriele
Berberich dan tim penelitinya mengamati perilaku semut merah di habitat
aslinya di hutan. Penelitian dilakukan selama tiga tahun pada
2009-2012. Selama periode penelitian, perilaku semut merah direkam dalam
video, 24 jam sehari.
Dalam rentang waktu penelitian, tercatat
ada 10 kali gempa dengan kekuatan berkisar 2-3,2 skala Richter (SR).
Dari peristiwa inilah, para peneliti menemukan perubahan perilaku setiap
kali gempa bakal terjadi, yang itu pun hanya terjadi untuk gempa dengan
kekuatan melebihi 2 SR. Gempa 2 SR juga merupakan kekuatan getaran
terkecil yang bisa dirasakan manusia.
Saat menjelaskan hasil
kajiannya di pertemuan tahunan European Geosciences Union di Vienna,
Austria, Kamis (11/4/2013), Berberich menjelaskan perubahan perilaku
semut sebelum gempa bumi diduga ada kaitannya dengan reseptor yang
mereka miliki. Perubahan perilaku ini juga dikaitkan dengan berubahnya
emisi gas atau medan magnet bumi yang terjadi di habitat semut ketika
gempa terjadi.
Berberich mengatakan, semut merah hutan memiliki dua reseptor. Keduanya ialah reseptor kimi (chemoreceptor) untuk mendeteksi kadar karbon dioksida dan reseptor magnet (magnetoreceptor) untuk "memantau" medan elektromagnet.
"(Namun)
kami belum yakin mengapa atau bagaimana mereka bereaksi pada rangsangan
atau stimulus yang muncul," aku Berberich sebagaimana dikutip
OurAmazingPlanet, Kamis (11/4/2013). Karena itu, dia dan tim penelitinya
berencana memperdalam kajian ini di wilayah dengan aktivitas kegempaan
lebih tinggi untuk melihat reaksi semut-semut merah terhadap gempa yang
lebih besar.
Penelitian ini juga mendapatkan temuan lain, masih
terkait dengan semut merah hutan. Lokasi sarang semut ini ternyata juga
memunculkan fakta unik. Para peneliti mendapatkan sekitar 15 ribu sarang
semut di obyek penelitian dan mereka menyebut posisi sarang itu sebagai
tumpukan permen di atas ban berjalan untuk menggambarkan barisan sarang
itu di sepanjang patahan Jerman.