Social Icons

Jumat, 05 April 2013

Hindari Kebiasaan Penyebab "Heartburn"





Heartburn merupakan istilah untuk sensasi panas di dada yang diakibatkan naiknya asam lambung sampai ke kerongkongan. Heartburn umumnya dipicu oleh makanan, obat, hingga kebiasaan-kebiasaan buruk seperti merokok atau tidur setelah makan.

Heartburn tentu akan mengganggu aktivitas Anda. Terlebih jika terjadi saat tidur, heartburn akan menurunkan kualitas tidur. Maka apa yang perlu dilakukan untuk menghindari heartburn?

1. Hindari merokok.
Merokok mungkin sudah menjadi alasan timbulnya banyak penyakit, termasuk heartburn. Merokok akan melemahkan katup di antara perut dan esofagus sehingga memicu heartburn.

2. Hindari makan banyak dan berlemak.
Ketika makan, lambung akan mengembang. Makan terlalu banyak bisa membuat gejala heartburn kumat setelah makan. Biaskan makan sedikit-sedikit, empat atau lima kali sehari, sehingga lambung tidak terlalu banyak memproduksi asam.

3. Hindari olahraga ekstrim.
Ada gerakan-gerakan tertentu dalam olahraga yang dapat memicu asam lambung untuk kembali ke kerongkongan. Maka perhatikan gerakan olahraga Anda, hindari gerakan-gerakan yang berlawanan dengan aliran pencernaan alami. Selain itu, hindari pula makan sebelum berolahraga.

4. Perhatikan obat Anda.
Ada banyak pengobatan yang memicu heartburn. Penggunaan rutin aspirin dan obat anti-inflami nonstetoid biasanya dapat memicu.

5. Jangan kenakan ikat pinggang atau pakaian ketat di daerah pinggang.

Pakaian ketat pada pinggang akan menekan lambung, sehingga asam lambung bisa naik ke kerongkongan. Selain itu, pastikan pakaian tidur Anda longgar sehingga tidak memberikan tekanan pada lambung.

6. Jangan tidur setelah makan.
Tidur setelah makan memperbesar risiko naiknya asam lambung ke kerongkongan. Maka pastikan tidur 2 jam setelah makan. Selain itu Anda juga dapat menggunakan bantal yang membuat posisi kepala lebih tinggi dari badan saat tidur.

Sumber :
»»  READMORE...

Obati Autisme Berat, Orangtua Manfaatkan Ganja





Mariyuana atau ganja sebenarnya sudah sejak lama dipakai untuk mengobati penyakit. Namun, dalam dunia kedokteran modern, pemanfaatan ganja masih kontroversial. Meski begitu, sebuah keluarga di Oregon, Amerika Serikat, menggunakan ganja untuk mengatasi autisme berat yang diderita anak mereka.
Adalah Jeremy Echols, ayah dari Alex, anak penyandang autisme berusia 11 tahun. Alex gemar menyakiti dirinya sendiri. Saat berusia 5 tahun, ia telah menunjukkan gejala autisme berat, antara lain membenturkan wajahnya ke tembok hingga memar.

Namun, keadaan ini berubah semenjak Jeremy memberikan program pengobatan dengan menggunakan ganja kepada Alex. Terjadi perubahan dramatis pada perilaku Alex.

"Dia pernah memukuli dirinya sendiri hingga berdarah-darah dalam jangka waktu satu jam atau satu setengah jam. Seharusnya, dia dapat bermain normal dengan mainan, namun saat itu sangat tidak mungkin," ujar Jeremy.

Jeremy kemudian mulai memberikan obat ganja cair tiga kali seminggu pada Alex.

American Academy of Pediatrics melarang pengunaan ganja terhadap anak-anak sekalipun sebagai obat. Hal tersebut disebabkan ganja bersifat racun untuk perkembangan otak anak. Selain itu, belum diketahui efek samping dari penggunaan ganja dalam waktu lama.

Kendati demikian, bagi keluarga Echols, manfaat yang didapatkan dari pengobatan ganja lebih besar daripada efek sampingnya.

"Bagi kami, efek samping obat yang belum diketahui tersebut mungkin bukan apa-apa dibanding dengan perilaku menyakiti dirinya sendiri," ujar Jeremy.

Sumber :
FOX NEWS
»»  READMORE...

Obesitas di Usia Muda Beresiko Penyakit Ginjal





Kegemukan dan obesitas telah dikaitkan dengan berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan beberapa penyakit lain. Menurut studi terbaru, obesitas sejak muda juga dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal.

Sebuah studi baru jangka panjang menganalisa data lebih dari 4.600 orang di Inggris yang lahir pada Maret 1946. Para peserta memiliki indeks massa tubuh yang bervariasi, yaitu 20, 26, 36, 43, 53, 60, dan 64. Indeks massa tubuh merupakan pengukuran lemak tubuh berdasarkan tinggi dan berat tubuh. Indeks massa tubuh di atas 29 sudah tergolong obesitas.

Para peserta yang mengalami kegemukan hingga obesitas di usia muda atau usia 26 atau 36 memiliki risiko penyakit ginjal kronik lebih tinggi pada usia 60 hingga 64 tahun. Risiko tersebut dibandingkan dengan mereka yang tidak obesitas di usia muda maupun di usia tua.

Menurut studi yang dipublikasi dalam Journal of the American Society of Nephrology ini, memiliki rasio lingkar pinggang-pinggul yang lebih besar selama usia pertengahan juga dikaitkan dengan penyakit ginjal kronik pada usia 60 hingga 64 tahun.

Para peneliti menyimpulkan bahwa 36 persen risiko penyakit ginjal kronik pada usia 60 hingga 64 tahun dapat dicegah jika menghindari obesitas hingga mencapai usia tersebut.

"Ini adalah pelaporan pertama bagaimana usia mengalami obesitas mungkin dapat mempengaruhi risiko penyakit ginjal," ujar penulis studi dr. Dorothea Nitsch dari London School of Hygiene & Tropical Medicine.

Kendati demikian, masih belum jelas obesitas di usia muda pasti menyebabkan penyakit ginjal kronik di usia tua. Namun para peneliti berpendapat risiko menderita penyakit ginjal kronik akan semakin besar jika mengalami obesitas di usia muda.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1,4 miliar orang dewasa mengalami kegemukan di 2008, termasuk 500 juta di antaranya mengalami obesitas.



Sumber :
»»  READMORE...

Kamis, 04 April 2013

Label Organik Mengecoh Konsumen





Persepsi seseorang akan rasa, manfaat, bahkan kandungan kalori dari sebuah produk makanan ternyata bisa dipengaruhi oleh label organik dalam makanan.

Konsumen yang mengonsumsi makanan berlabel organik mempercayai bahwa makanan tersebut lebih sehat, terasa lebih lezat, bahkan mengandung kalori lebih rendah.

Beberapa studi sebelumnya juga menunjukkan sebagian besar mempersepsikan makanan organik sebagai makanan sehat karena adanya "efek halo" dari label organik.

Dalam studi teranyar yang dilakukan tim dari New York's Cornell University menemukan, banyak konsumen yang terkecoh dengan label organik pada produk makanan.

Tim peneliti melibatkan 115 orang yang direkrut dari pusat perbelanjaan lokal untuk berpartisipasi dalam studi. Mereka diberi beberapa pertanyaan untuk mengevaluasi tiga jenis produk, yakni dua yogurt, dua kue kering, dan dua kantong keripik.

Salah satu dari tiap jenis produk itu diberi label organik, sementara sisanya berlabel regular. Yang tidak disadari oleh konsumen itu, setiap contoh produk sebenarnya organik dan sama.

Para relawan studi ditanyai tentang rasa dan kandungan kalori dari tiap produk dan seberapa besar mereka mau membayar produk tersebut. Daftar pertanyaan juga meliputi kebiasaan belanja para konsumen.

Kendati setiap produk adalah sama, namun pada produk yang mendapat label organik dipersepsikan para konsumen sebagai produk yang lebih sehat, rasanya enak, dan kalorinya rendah.

Kue kering dan yogurt yang di kemasannya tertulis organik dianggap memiliki kandungan kalori paling rendah, para konsumen bahkan bersedia membayar lebih mahal untuk produk tersebut.

Aspek nutrisi dari produk-produk tersebut juga bias oleh efek "sehat" dari produk berlabel organik. Para konsumen menilai kue kering dan yogurt organik memiliki kandungan lemak lebih rendah serta bernutrisi dibanding jenis yang biasa.

Label organik bahkan mengecoh indera perasa. Ketika dipersepsikan organik, para konsumen mengatakan keripik terasa lebih menarik dan yogurt terasa lebih enak.

Padahal, biasanya makanan yang non-organik dianggap lebih lezat karena kebanyakan orang menganggap makanan sehat biasanya rasanya kurang enak.

Kendati begitu, tim peneliti menemukan bahwa orang-orang yang terbiasa membaca label nutrisi dan membeli produk organik tidak terlalu terpengaruh oleh "efek halo" sehat.

Sumber :
»»  READMORE...

Teknologi "Stent" Terbaru Atasi Sumbatan Pembuluh Darah




Penyakit jantung koroner (PJK) masih menempati peringkat pertama  penyebab kematian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit ini umumnya disebabkan berkurangnya aliran nutrisi dan oksigen pada otot-otot jantung akibat penyumbatan arteri.
Tindakan medis yang biasa dilakukan untuk mengatasi sumbatan yaitu dengan operasi bypass, yaitu memberikan "jalan" lain di pembuluh darah agar darah bisa melewati pembuluh yang tersumbat. Pembuluh yang disisipkan tersebut umumnya diambil dari pembuluh darah yang ada di kaki.
Akan tetapi, risiko operasi bypass cukup tinggi karena melibatkan tindakan invasif yang besar. Maka, alternatif dari operasi bypass yaitu teknologi stent atau yang biasa dikenal dengan "ring". Pemasangan stent di pembuluh darah akan memperlebar pembuluh yang tersumbat, sehingga memungkinkan darah untuk mengalir normal kembali.
Menurut spesialis jantung dan pembuluh darah dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) dr. Doni Firman, teknologi stent merupakan tindakan minim invasif sehingga memiliki risiko yang lebih rendah dari operasi bypass.
Teknologi stent diawali pada tahun 1970an dan terus berkembang hingga saat ini. Doni mengatakan, teknologi stent yang terbaru yaitu stent yang bukan lagi terbuat dari metal, melainkan bahan organik. Sehingga dalam dua tahun, stent tersebut akan hilang dari pembuluh.
Doni mengatakan, teknologi stent terbaru ini sudah ada dan dapat dilakukan oleh dokter-dokter di Indonesia. Keunggulan dari stent terbaru daripada stent yang sudah ada sebelumnya antara lain dapat menyerap lemak dan kapur yang menyumbat pembuluh darah dan mengembalikan bentuk pembuluh darah hampir ke bentuk semula.
"Tidak seperti stent yang terbuat dari metal yang tidak dapat dihilangkan dari pembuluh, stent terbaru ini akan hilang dalam kurun waktu dua tahun, tapi kekuatannya sama dengan stent metal," jelas Doni dalam peluncuran Absorb Bioresorbale Vascular Scaffold, Kamis (4/4/2013), kemarin di Jakarta.
Kendati dapat menyerap penyumbat pembuluh darah, namun Doni tetap menekankan gaya hidup sehat yang utama dilakukan pasca pemasangan stent. "Jika gaya hidup tetap buruk, penyumbatan akan timbul lagi," tandas Doni.

»»  READMORE...

Waspada Jika Ada Darah Saat BAB





Jangan abaikan jika saat buang air besar (BAB) mengeluarkan bercak darah. Bisa jadi itu  adalah tanda-tanda awal penyakit kanker usus besar atau kanker kolorektal. Peningkatan jumlah kasus kanker kolorektal antara lain dipicu oleh pola makan tinggi lemak dan minim serat.

Kanker usus besar (kolon) dan daerah antara usus besar dan anus memiliki banyak persamaan, karena itu seringkali secara bersama-sama sering disebut dengan kanker kolorektal.

Menurut data WHO, setiap tahunnya diperkirakan 608.000 orang meninggal karena kanker kolorektal. Penyebab pasti kanker ini memang belum diketahui, tetapi ada beberapa hal yang meningkatkan risiko, antara lain pola makan tidak sehat, memiliki radang usus, merokok, serta faktor usia lanjut.

Sebagian besar penderita kanker kolorektal memang berusia di atas 50 tahun, tetapi jumlah pasien yang berusia muda terus meningkat. "Makin banyak pasien saya yang baru berusia pertengahan tiga puluhan," kata Dr.Aru Sudoyo, Sp.PD, ahli hepatologi-onkologi medik dari RS.Medistra Jakarta.

Selain pola makan, aktivitas fisik yang kurang serta faktor genetik akan semakin meningkatkan faktor risiko. Menurut teori para ahli, sebagian besar orang memiliki gen tidur yang bisa menghasilkan sel kanker. Gen ini tetap tidur sampai kemudian diaktifkan oleh penyebab dari luar seperti infeksi, tembakau, bahan polusi di dalam makanan atau udara, sehingga menjadi sel kanker.

Gejala-gejala kanker kolorektal meliputi perdarahan pada usus besar yang ditandai dengan ditemukannya darah pada feses saat buang air besar, perubahan kebiasaan buang air besar (diare atau sembelit tanpa sebab yang jelas), penurunan berat badan meski tidak sedang diet, kelelahan, serta rasa sakit di perut atau bagian belakang.

Menurut Aru, sebagian besar pasien kanker kolorektal datang dalam stadium lanjut atau stadium tiga ke atas. "Sebenarnya cukup banyak yang datang masih dalam stadium satu, tetapi setelah mendapat diagnosa dokter mereka tidak datang lagi karena berobat alternatif. Setelah datang kembali sudah stadium lanjut," katanya.

Deteksi dini sangat penting supaya kanker bisa ditemukan di stadium dini sehingga akhirnya peluang kesembuhan menjadi makin besar.

Ada beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendeteksi kanker kolorektal, antara lain pemeriksaan tes darah samar pada feses, colok dubur, atau kolonoskopi untuk mengambil contoh jaringan pada polip.

Terapi perawatan kanker kolorektal saat ini terus berkembang. Pilihan terapi berdasarkan pada stadium, posisi, serta ukuran tumornya. Pada kanker di stadium awal tindakan paling umum adalah pembedahan serta kemoterapi untuk memastikan kanker telah hilang dan tak akan muncul lagi. Pada stadium lanjut bisa dilakukan kemoterapi dan terapi sasaran untuk meningkatkan harapan dan kualitas hidup pasien.


»»  READMORE...

Tes Urine Bisa Prediksi Harapan Hidup




Urine yang selama ini dijadikan indikator kesehatan ternyata dapat membantu memprediksi harapan hidup seseorang. Sebuah laporan dari National Kidney Foundation's American Journal of Kidney Diseases menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat protein dalam urine (proteinuria) dan risiko kematian.

Berdasarkan laporan tersebut, orang sehat cenderung memiliki tingkat proteinuria yang rendah. Hal ini menandakan ginjal berfungsi dengan baik sebagai organ yang menyaring protein agar tetap ada di dalam tubuh. Protein yang ikut terbuang menandakan ada kerusakan tertentu yang menyebabkan ginjal bocor.

"Laporan kami menunjukkan, proteinuria tinggi bisa mengurangi angka harapan hidup pada sebagian besar pria dan wanita," kata peneliti Dr Tanvir Chowdhury Turin dari University of Calgary. Penelitian ini menggunakan 810 ribu sampel urine pasien yang tidak diopname di Alberta, Kanada. Para pasien juga tidak mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan ginjal.

Hasil penelitian menunjukkan, tingkat proteinuria sedang sampai tinggi menurunkan angka harapan hidup usia 30-85 tahun pada pria dan wanita. Pria dan wanita usia 40 tahun tanpa proteinuria memiliki harapan hidup 15,2 dan 17,4 tahun lebih lama dibanding yang memiliki level proteinuria tinggi. Wanita dan pria tanpa proteinuria juga memiliki harapan hidup 8,2 dan 10,5 tahun lebih lama dibanding yang memiliki level proteinuria sedang.

Pengujian proteinuria biasanya menggunakan dipstick dan dapat dilakukan di laboratorium mana pun. Dalam kondisi sehat, biasanya masih ditemukan proteinuria dalam jumlah kecil. Jumlah proteinuria sedang sampai besar menandakan adanya kesalahan pada sistem penyaringan (glomeruli) atau luka di area ginjal. Kondisi ini bisa menjadi gejala penyakit glomerulonephritis. Infeksi pada jalan urine seperti cystitis atau pyelonephritis juga menjadi penyebab tingginya level proteinuria.

Dalam kondisi sehat, seseorang bisa mengeluarkan proteinuria berkisar 0-8 mg/dL. Normalnya jumlah kecil protein yang lolos masuk ke dalam ginjal mampu kembali diserap tubuh. Hal ini mungkin karena ginjal juga mengendalikan jumlah protein dalam darah. Bila protein dalam darah sudah terlalu tinggi, barulah protein tersebut lolos dan bergabung menjadi urine. Besarnya proteinuria yang keluar ditandai urine yang berbusa (foamy).

Makin besar proteinuria yang keluar, semakin tinggi angka penanda pada dipstick (penanda level urin). Angka 1+ diperuntukkan bagi proteinuria sebanyak 30 mg/dL atau setara kurang dari 0,5 g/hari. Angka 2+ menandakan proteinuria yang keluar adalah 100 mg/dL atau setara 0,5-1 g/hari. Angka 3+ adalah untuk proteinuria yang keluar sejumlah 300 mg/dL atau setara kurang dari 1-2 g/hari. Angka tertinggi 4+ ditujukan untuk proteinuria yang lebih dari 200 mg/dL atau setara lebih dari 2 g/hari.    

Sebelumnya, hanya diketahui hubungan antara tingkat proteinuria dengan gejala awal timbulnya penyakit yang berkaitan dengan ginjal. Dengan adanya penelitian ini, memungkinkan seseorang mengetahui risiko langsung terhadap hidupnya dan merencanakan langkah penyembuhan sejak awal.

Sumber :
»»  READMORE...