Fotolia
Ilustrasi pengalaman mendekati kematian
LIEGE, Fenomena pengalaman mendekati kematian (Near Dearth Experience/NDE)
seperti melihat cahaya terang, berjalan melewati sebuah terowongan,
merasa telah mencapai akhir relaitas dan bergerak meninggalkan tubuh
sendiri terkadang diamali oleh orang yang mendekati kematian.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan bagi para peneliti. Bagaimana asal muasal kondisi tersebut? Apakah pengalaman mendekati kematian merupakan produk dari pikiran atau sebuah mekanisme pertahanan secara psikologis?
Selama ini, pengalaman mendekati kematian sulit diungkap secara ilmiah karena kajian rela-time tidak mungkin dilakukan. Tim peneliti dari Coma Science Group dan Cognitive Psychology Research, University of Liège, baru-baru ini melakukan penelitian dengan pendekatan baru.
Steven Laureys dan Serge Bredart bekerjasama mengembangkan kuesioner untuk melihat karakteristik fenomenologis memori, seperti detil sensorik, referensi diri dan emosi. Kuesioner itu dibagikan pada 4 kelompok responden, 3 kelompok pasien yang bangkit dari koma dan 1 kelompok pasien sehat.
Peneliti berasumsi, jika NDE murni merupakan produk imajinasi, maka karakteristik fenomenologisnya pun akan mendekati. Demikian juga bila ternyata NDE lebih terkait dengan kejadian nyata dalam hidup seseorang.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan bagi para peneliti. Bagaimana asal muasal kondisi tersebut? Apakah pengalaman mendekati kematian merupakan produk dari pikiran atau sebuah mekanisme pertahanan secara psikologis?
Selama ini, pengalaman mendekati kematian sulit diungkap secara ilmiah karena kajian rela-time tidak mungkin dilakukan. Tim peneliti dari Coma Science Group dan Cognitive Psychology Research, University of Liège, baru-baru ini melakukan penelitian dengan pendekatan baru.
Steven Laureys dan Serge Bredart bekerjasama mengembangkan kuesioner untuk melihat karakteristik fenomenologis memori, seperti detil sensorik, referensi diri dan emosi. Kuesioner itu dibagikan pada 4 kelompok responden, 3 kelompok pasien yang bangkit dari koma dan 1 kelompok pasien sehat.
Peneliti berasumsi, jika NDE murni merupakan produk imajinasi, maka karakteristik fenomenologisnya pun akan mendekati. Demikian juga bila ternyata NDE lebih terkait dengan kejadian nyata dalam hidup seseorang.
Dalam
penelitian, peneliti mengevaluasi memori NDE, kejadian nyata dan
imajinasi. Menggunakan pendekatan tersebut, tim peneliti mendapatkan
hasil yang mengejutkan. Pertama, peneliti memeroleh hasil bahwa NDE
tidak murni produk imajinasi.
Peneliti menemukan bahwa karakteristik fenomenologis yang melekat pada kejadian nyata justru lebih sering muncul dalam ingatan mengenai NDE dibandingkan ingatan mengenai kejadiannya nyata itu sendiri.
Diberitakan Science Daily, Rabu (27/3/2013), peneliti menguraikan, pada kondisi yang kondusif untuk terjadinya fenomene NDE, otak seseorang mengalami kekacauan. Mekanisme fisiologis dan farmakologis dari otak tersebut menjadi benar-benar terganggu dan menjadi lebih buruk.
Peneliti menuturkan bahwa pengalaman keluar dari tubuh (Out of the Body Experience) yang menjadi komponen NDE bisa terjadi akibat disfungsi bagian otak yang disebut lobus tempo-parietal. Lobus parietal merupakan bagian otak yang berperan dalam proses pemisahan diri dengan sesuatu.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE ini, peneliti berpendapat, fenomena lain NDE juga bisa merupakan produk dari mekanisme yang sama dengan pengalaman keluar dari tubuh. Ini seperti seseorang berada dalam halusinasi.
Peristiwa ini, bagi orang-orang tertentu, menjadi kejutan dan sangat penting dari perspektif personal dan emosi mereka. Kondisi yang matang untuk ingatan mengenai peristiwa tersebut menjadi sangat rinci, persis, dan tahan lama.
Berbagai penelitian telah menggali tentang mekanisme fisiologis dari NDE, khususnya terkait terciptanya fenomena tersebut oleh otak. Akan tetapi teori-teori yang berkembang masih belum mampu menjelaskan pengalaman ini secara menyeluruh.
Hasil kajian yang dilakukan oleh tim peneliti ini pun tidak menyatakan penjelasan yang unik mengenai NDE, namun berkontribusi dalam jalur yang menjelaskan bahwa NDE dipengaruhi oleh fenomena psikologis yang terasosiasi dengan fenomena fisiologis, bukan saling berseberangan.
Peneliti menemukan bahwa karakteristik fenomenologis yang melekat pada kejadian nyata justru lebih sering muncul dalam ingatan mengenai NDE dibandingkan ingatan mengenai kejadiannya nyata itu sendiri.
Diberitakan Science Daily, Rabu (27/3/2013), peneliti menguraikan, pada kondisi yang kondusif untuk terjadinya fenomene NDE, otak seseorang mengalami kekacauan. Mekanisme fisiologis dan farmakologis dari otak tersebut menjadi benar-benar terganggu dan menjadi lebih buruk.
Peneliti menuturkan bahwa pengalaman keluar dari tubuh (Out of the Body Experience) yang menjadi komponen NDE bisa terjadi akibat disfungsi bagian otak yang disebut lobus tempo-parietal. Lobus parietal merupakan bagian otak yang berperan dalam proses pemisahan diri dengan sesuatu.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE ini, peneliti berpendapat, fenomena lain NDE juga bisa merupakan produk dari mekanisme yang sama dengan pengalaman keluar dari tubuh. Ini seperti seseorang berada dalam halusinasi.
Peristiwa ini, bagi orang-orang tertentu, menjadi kejutan dan sangat penting dari perspektif personal dan emosi mereka. Kondisi yang matang untuk ingatan mengenai peristiwa tersebut menjadi sangat rinci, persis, dan tahan lama.
Berbagai penelitian telah menggali tentang mekanisme fisiologis dari NDE, khususnya terkait terciptanya fenomena tersebut oleh otak. Akan tetapi teori-teori yang berkembang masih belum mampu menjelaskan pengalaman ini secara menyeluruh.
Hasil kajian yang dilakukan oleh tim peneliti ini pun tidak menyatakan penjelasan yang unik mengenai NDE, namun berkontribusi dalam jalur yang menjelaskan bahwa NDE dipengaruhi oleh fenomena psikologis yang terasosiasi dengan fenomena fisiologis, bukan saling berseberangan.