Social Icons

Jumat, 28 Desember 2012

askep Bronkopneumonia



Konsep Dasar

Definisi
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru-paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi. (Price, 1995)
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. (Zul, 2001)
Bronkopneumonia digunakan unutk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001).

Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001) :
Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
F Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis.
F Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
Berdasarkan faktor lingkungan
F Pneumonia komunitas
F Pneumonia nosokomial
F Pneumonia rekurens
F Pneumonia aspirasi
F Pneumonia pada gangguan imun
F Pneumonia hipostatik
Berdasarkan sindrom klinis
F Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.
F Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella.

Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) :
a.       Community Acquired Pneunomia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia Streptococal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
b.       Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme seperti ini  aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab hospital acquired pneumonia.
c.       Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
d.       Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme perusak.


Etiologi
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan  streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001)

4.      Pathways
Terlampir

5.      Manifestasi Klinis
a.      Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
F Nyeri pleuritik
F Nafas dangkal dan mendengkur
F Takipnea
b.      Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
F Mengecil, kemudian menjadi hilang
F Krekels, ronki, egofoni
c.       Gerakan dada tidak simetris
d.      Menggigil dan demam 38,8 ° C sampai 41,1°C, delirium
e.      Diafoesis
f.        Anoreksia
g.      Malaise
h.      Batuk kental, produktif
F Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat
i.        Gelisah
j.        Sianosis
F Area sirkumoral
F Dasar kuku kebiruan
k.       Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati

6.      Pemeriksaan Penunjang
a.      Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
b.      GDA     : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
c.       Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah            : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
d.      JDL       : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
e.      Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
f.        LED      : meningkat
g.      Pemeriksaan fungsi paru        : volume ungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
h.      Elektrolit         : natrium dan klorida mungkin rendah
i.        Bilirubin          : mungkin meningkat
j.        Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka        :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 1999)

7.      Penatalaksanaan
a.      Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan pentunjuk penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur spatum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis (Harasawa, 1989).
b.      Pengobatan Umum
1.      Terapi Oksigen
2.      Hidrasi
Bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral
3.      Fisioterapi
Pendrita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.




8.      Pengkajian
a.      Aktivitas / istirahat
Gejala  : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda  : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
b.      Sirkulasi
Gejala  : riwayat gagal jantung kronis
Tanda  : takikardi, penampilan keperanan atau pucat
c.       Integritas Ego
Gejala  : banyak stressor, masalah finansial
d.      Makanan / Cairan
Gejala  : kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
Tanda    : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor
buruk, penampilan malnutrusi
e.      Neurosensori
Gejala  : sakit kepala dengan frontal
Tanda  : perubahan mental
f.        Nyeri / Kenyamanan
Gejala  : sakit kepala nyeri dada meningkat dan batuk myalgia, atralgia
g.      Pernafasan
Gejala  : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
Tanda  : sputum ; merah muda, berkarat atau purulen
Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi  pleural
Bunyi nafas  : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas Bronkial
Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Warna  : pucat atau sianosis bibir / kuku
h.      Keamanan
Gejala  : riwayat gangguan sistem imun, demam
Tanda     : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubeda / varisela
i.        Penyuluhan
Gejala      : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis

II.      Rencana Keperawatan
1.      Diagnosa Perawatan : kebersihan jalan nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
Ø  Inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatan produksi sputum
Ø  Nyeri pleuritik
Ø  Penurunan energi, kelemahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Ø  Perubahan frekuensi kedalaman pernafasan
Ø  Bunyi nafas tak normal, penggunaan otot aksesori
Ø  Dispnea, sianosis
Ø  Bentuk efektif / tidak efektif dengan / tanpa produksi sputum
Kriteria Hasil :
Ø  Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas
Ø  Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnea atau sianosis
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Kali frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada
§  Auskultasi paru catat area penurunan / tak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
§  Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
§  Penghisapan sesuai indikasi
§  Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
Ø  Kolaborasi
§  Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain
§  Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspetoran, bronkodilator, analgesik
§  Berikan cairan tambahan
§  Awasi seri sinar X dada, GDA, nadi oksimetri
§  Bantu bronkoskopi / torakosintesis bila diindikasikan

2.      Diagnosa Perawatan : kerusakan pertukaran gas dapat dihubungkan dengan
Ø  Perubahan membran alveolar – kapiler (efek inflamasi)
Ø  Gangguan kapasitas oksigen darah
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ø  Dispnea, sianosis
Ø  Takikandi
Ø  Gelisah / perubahan mental
Ø  Hipoksia
Kriteria Hasil :
Ø  Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan
Ø  Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
§  Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku
§  Kaji status mental
§  Awasi status jantung / irama
§  Awasi suhu tubuh, sesui indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil
§  Pertahankan istirahat tidur
§  Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif
§  Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah / perasaan.
Ø  Kolaborasi
§  Berikan terapi oksigen dengan benar
§  Awasi GDA

3.      Diagnosa Perawatan : pola nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
Ø  Proses inflamasi
Ø  Penurunan complience paru
Ø  Nyeri
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ø  Dispnea, takipnea
Ø  Penggunaan otot aksesori
Ø  Perubahan kedalaman nafas
Ø  GDA abnormal
Kriteria Hasil :
Ø  Menunjukkan pola pernafasan normal / efektif dengan GDA dalam rentang normal
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
§  Auskultasi bunyi nafas
§  Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
§  Observasi pola batuk dan karakter sekret
§  Dorong / bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif
Ø  Kolaborasi
§  Berikan Oksigen tambahan
§  Awasi GDA

4.      Diagnosa Perawatan : peningkatan suhu tubuh
Dapat dihubungkan  : proses infeksi
Kemungkinan dibuktukan oleh :
Ø  Demam, penampilan kemerahan
Ø  Menggigil, takikandi
Kriteria Hasil :
Ø  Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
Ø  Tidak menggigil
Ø  Nadi normal
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
§  Pantau warna kulit
§  Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan
Ø  Kolaborasi
§  Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik
§  Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari

5.      Diagnosa Perawatan : resiko tinggi penyebaran infeksi
Dapat dihubungkan dengan :
Ø  Ketidakadekuatan pertahanan utama
Ø  Tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ø  Tidak dapat diterapkan tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual
Kriteria Hasil :
Ø  Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
Ø  Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Pantau TTV
§  Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
§  Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
§  Ubah posisi dengan sering
§  Batasi pengunjung sesuai indikasi
§  Lakukan isolasi pencegahan sesuai individu
§  Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
Ø  Kolaborasi
§  Berikan antimikrobal sesuai indikasi

6.      Diagnosa Perawatan : intoleran aktivitas
Dapat dihubungkan dengan
Ø  Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Ø  Kelemahan, kelelahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Ø  Laporan verbal kelemahan, kelelahan dan keletihan
Ø  Dispnea, takipnea
Ø  Takikandi
Ø  Pucat / sianosis





Kriteria Hasil :
Ø  Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal
Intervensi :
Ø  Mandiri
§  Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
§  Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
§  Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
§  Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
§  Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan

7.      Diagnosa Perawatan : Nyeri
Dapat dihubungkan dengan :
Ø  Inflamasi parenkim paru
Ø  Reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin
Ø  Batuk menetap
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Ø  Nyeri dada
Ø  Sakit kepala, nyeri sendi
Ø  Melindungi area yang sakit
Ø  Perilaku distraksi, gelisah
Kriteria Hasil :
Ø  Menyebabkan nyeri hilang / terkontrol
Ø  Menunjukkan rileks, istirahat / tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat
Intervensi :
Ø Mandiri
§  Tentukan karakteristik nyeri
§  Pantau TTV
§  Ajarkan teknik relaksasi
§  Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.

8.      Diagnosa Perawatan : resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Dapat dihubungkan dengan :
Ø Peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi
Ø Anoreksia distensi abdomen
Kriteria Hasil :
Ø Menunjukkan peningkatan nafsu makan
Ø Berat badan stabil atau meningkat
Intervensi :
Ø Mandiri
§  Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
§  Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
§  Auskultasi bunyi usus
§  Berikan makan porsi kecil dan sering
§  Evaluasi status nutrisi

9.      Diagnosa Perawatan : resti kekurangan volume cairan
Faktor resiko :
Ø Kehilangan cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi, muntah)
Kriteria Hasil :
Ø Balance cairan seimbang
Ø Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler cepat
Intervensi :
Ø Mandiri
§  Kaji perubahan TTV
§  Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa
§  Catat laporan mual / muntah
§  Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
§  Hitung keseimbangan cairan
§  Asupan cairan minimal 2500 / hari
Ø Kolaborasi
§  Berikan obat sesuai indikasi ; antipirotik, antiametik
§  Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan

10.  Diagnosa Perawatan : kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan
Dapat dihubungkan dengan :
Ø  Kurang terpajan informasi
Ø  Kurang mengingat
Ø  Kesalahan interpretasi
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ø  Permintaan informasi
Ø  Pernyataan kesalahan konsep
Ø  Kesalahan mengulang
Kriteria Hasil :
Ø  Menyatakan permahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan
Ø  Melakukan perubahan pola hidup
Intervensi
Ø  Mandiri
§  Kaji fungsi normal paru
§  Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan
§  Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal
§  Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif
§  Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.




















DAFTAR PUSTAKA

Pasiyan Rahmatullah (1999), Geriatri : Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Editor : R. Boedhi Darmoso dan Hadi Martono, Jakarta, Balai Penerbit FKUI 
Doenges, Marilynn (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.
Smeltzer SC, Bare B.G (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I, Jakarta : EGC
Suyono, (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.
Lackman’s (1996). Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company.








»»  READMORE...

ASKEP BRONKIEKTASIS



BRONKIEKTASIS

KONSEP DASAR
A.        Pengertian.
§  Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus ( Soeparman & Sarwono, 1990)
§  Bronkiektasis berarti suatu  dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis  berulang dan memanjang,aspirasi benda asing, atau massa ( mis. Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan obstruksi ( Hudak & Gallo,1997). 
§  Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar ( Barbara E, 1998).

B.        Klasifikasi
Berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Bronkiektasis silindris
2.      Bronkiektasis fusiform
3.      Bronkiektasis kistik atau sakular.

C.        Etiologi
1.      Infeksi
2.      Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
3.      Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
4.      Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai komplikasi campak, batuk rejan,  atau penyakit menular lainnya semasa kanak-kanak.

Download askep selengkapnya klik disini
»»  READMORE...

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BLADER NEOPLASMA

?    Sebagian besar tumbuh dalam lumen kandung kemih.
?    Cancer tersering pada saluran kemih.
?    Jumlah 3 % dari semua kematian karena kanker
?    Sering pada usia 50 – 70 tahun
?    Laki-laki 2 – 3 kali dari wanita

FAKTOR RESIKO
?    Paparan dari sigaret rokok (mayor)
?    Radiasi pelvis, penggunaan siclophosphamide, Kronik sistitis, batu buli-buli

PENGKAJIAN
·    Tanyakan klien tentang perubahan dalam urinase, catat adanya perubahan warna, frekuensi dan jumlah urine
·    Hematuri disertai nyeri merupakan tanda pertama kanker blader, biasanya intermittent yang mana sering menyebabkan hambatan dalam mencari pelayanan diagnostik.
·    Akibat perkembangan penyakit klien mengalami iritable blader dengan disuria. Akhirnya gross hematuria, obstruksi atau vistula mendorong klien mencari pengobatan.

PENGKAJIAN DIAGNOSTIK
·    Urinalisis menunjukkan adanya darah dalam urine.
·    Sistoscopy dikerjakan untuk melihat tumor secara langsung dan untuk biopsi.
·    Sitologi.
·    IVP mengevaluasi kandung kemih, uriter dan ginjal.
NURSING INTERVENSI
1.    Resiko tinggi injury berhubungan dengan radiasi terapi dan kemoterapi .
Kriteria:
Klien tidak berkembang dengan masalah yang berhubungan dengan terapi radiasi dan kemoterapi yang ditandai dengan tidakadanya sistitis hemoragik
Intervensi  :
?    Pemberian anti spasmodik
?    Peningkatan asupan cairan klien
?    Pemberian antiseptik traktus urinarius untuk sistitis.
?    Klien dengan proctitis memerlukan diet rendah serat dan agen untuk menurunkan motilitas usus

2.    Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan diversi urine
Kriteria:
Klien mengerti tentang pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan perawatan diversi urine ditandai dengan pernyataan klien dan kemampuan demonstrasi terhadap perawatannya.
Intervensi  :
?    Persiapan preop klien yang mengalami diversi urine.
?    Pendidikan mengenai diversi urine.
?    Mendorong penerimaan terhadap fakta dan hasil eliminasi urine melalui kulit rektum atau stoma khusus.
?    Persiapan fisik dan emosi secara umum.
?    Perlu perhatikan saluran cerna : non residu diet untuk beberapa hari, sterilisasi usus, enema atau katartic.
?    Seleksi klien sebelum pemasangan stoma
?    Sarankan klien untuk mencegah kontak urine dengan kulit, untuk mencegah iritasi kulit akibat diversi urine.
?    Bersihkan stoma dengan sabun, air lalu dikeringkan pada setiap penggantian kantong urine.

3.    Gangguan eliminasi urine (disuria ) berhubungan dengan adanya tumor.
Kriteria:
    Klien akan terdiagnosis dini untuk mengeliminasi dysuria.
Intervensi  :
?    pemasangan indwelling kateter.
?    CBI untuk mencegah blood clot
?    Intervensi pada TUR – P (intek cairan, analgesik dan antispasmodik seperlunya)

4.    Gangguan harga diri dan body image
Perubahan route aliran dan miksi akan merubah self image meliputi perubahan emosi, Psikososial dan reaksi persepsi
Kreteria :
Klien akan mempunyai konsep diri, body image dan self esteem yang normal setelah Diversi urine.
Intervensi   : 
?    Konseling preoperasi : perubahan anatomi fisiologi dan kemungkinan afeknya Pada klien
?    Konseling cara mempertahankan gaya hidup
?    Bantu klien mencari stoma dan menerimanya sebagai bagian hidupnya.

5.    INJURI, HIGH RISK bd. Komplikasi post op (perdarahan, paralitik illeus, iskemic stoma, bloking kateter urethral
Kriteria  :
Klien tak akan mengalami komplikasi post op ditandai tanda vital normal, suara bising usus aktif dalam 3  –  4 jam post operasi, stoma merah muda, produksi urine  30  -  60  ml  /  jam.
Intervensi  :
?    Monetor rurin tanda vital
?    Inspeksi insisi
?    Hubungan nefrostomi tube pada bed side drainage
?    Jaga sistem drainage tertutup
?    Jaga patensi tube drainage untuk mencegah obstruksi
Intervensi postop diversi secara umum
?    Ukur output urine setiap jam  / 24 jam pertama, selanjutnya setiap 8 jam
?    Check kebocoran ostomy back dan kulit terhadap iritasi tiap 4 jam, kemudian 8 jam
?    Inspeksi stoma tiap jam / 24 jam post op
?    Catat ukuran stoma, bentuk dan warna. Warna sianotic stoma, insufisiensi supply darah
?    Penyebab insufisiensi : tehnik pembedahan, pemasangan plate yang terlalu kecil
?    Periksa tanda peritonitis akibat kebocoran anastomis
?    Observasi perdarahan 

6.    Skin integrity, High Risk impaired b.d iritasi periostomal.
Kriteria  :
Klien tidak akan berkembang pada gangguan integritas kulit, atau iritasi periotomal yang ditandai kulit intact dan bersih
Intervensi  :
·    Check pH urin
·    Check kantong urine terhadap kebocoran dan apakan kulit sensitif terhadap bahan tersebut
·    Ganti kantong selama tidak bocor (terlalu sering diganti menyebabkan iritasi)
·    Selama kantong diganti biarkan kontak dengan udara sebanyak mungkit
·    Berikan nystatin pada sekitar stoma.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.

                    (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya
»»  READMORE...

ASKEP BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI

KONSEP DASAR

A.    PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.
  
B.    ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1.    4
Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2.    Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3.    Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4.    Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

C.    PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

D.    Perubahan usia
PATHWAYS KEPERAWATAN

Ketidakseimbangan hormonal

Kadar testosterone
meningkat
Kadar testosterone
menurun


Hiperplasia sel stoma pada jar. prostat
DHT kompleks

RNA dlm inti sel

Proliferasi sel prostat


BPH

Obtruksi saluran kemih yg bermuara di VU

Tekanan intravesikel ↑

Dekompensasi otot destrusor
Kompensasi otot destrusor

Penebalan dinding VU


Retensio urine
Kotraksi otot VU

Retensio urine


Prostatektomi

Imobilisasi
Luka pembedahan


Motilitas usus menurun
Kelemahan fisik


Konstipasi
Aktivitas terbatas


Kurang perawatan diri
Gangguan eliminasi; BAB

Perdarahan
Jaringan terputus
Terputusnya saraf perifer
Port d’entry
Resti infeksi
Nyeri
Tidak terkontrol
Pengangkatan DC
Kebutuhan nutrisi meningkat
Sumbatan aliran urine
Resti < volume cairan
Inkontinensia
Resti kurang nutrisi
Resti perubahan eliminasi; BAK
Resti disfungsi seksual
Bekuan darah
Proses penyem-buhan luka






Sumber:     (Mansjoer A, 2000. hal: 329)
    (Poernomo, 2000. hal: 74 -76)
E.    MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1.    Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2.    Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3.    Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1.    Hemorogi
a.    Hematuri
b.    Peningkatan nadi
c.    Tekanan darah menurun
d.    Gelisah
e.    Kulit lembab
f.    Temperatur dingin
2.    Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3.    Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a.    bingung
b.    agitasi
c.    kulit lembab
d.    anoreksia
e.    mual
f.    muntah
4.    warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.    Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2.    Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3.    Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a.    Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b.    Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).

G.    PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1.    Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2.    Terapi medikamentosa
a.    Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b.    Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c.    Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3.    Terapi bedah
a.    TURP
b.    TUIP
c.    Prostatektomi terbuka
4.    Terapi invasif minimal
a.    TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b.    Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c.    High Intensity Focus Ultrasound
d.    Ablasi jarum trans uretra
e.    Stent Prostat
H.    FOKUS KEPERAWATAN
1.    Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a.    Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b.    Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c.    Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1)    pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2)    penggunaan alat-alat bantu
3)    penggunaan obat-obatan.
d.    Pola Aktivitas
1)    pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2)    pembatasan gerak
3)    alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e.    Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
1)    Pola tidur dan istirahat
2)    Persepsi, kualitas, kuantitas
3)    Penggunaan obat-obatan.
f.    Pola Kognitif – Perseptual
1)    Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2)    Kemampuan bahasa
3)    Kemampuan membuat keputusan
4)    Ingatan
5)    Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g.    Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1)    Body image
2)    Identitas diri
3)    Harga diri
4)    Peran diri
5)    Ideal diri.   
h.    Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1)    Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2)    Masalah keluarga dan masyarakat
3)    Peran tanggung jawab.
i.    Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1)    Penyebab stress
2)    Kemampuan mengendalikan stress
3)    Pengetahuan tentang toleransi stress
4)    Tingkat toleransi stress
5)    Strategi menghadapi stress.
j.    Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1)    Masalah seksual
2)    Pendidikan seksual.
k.    Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1)    Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2)    Realisasi dalam kesehariannya.
2.    Fokus Intervensi
a.    Perubahan eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi mekanikal; bekuan darah, trauma, prosedur bedah tekanan dan iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
Kriteria hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Rencana intervensi:
1)    Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional    :    Retensi bisa terjadi karena oedema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2)    Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional    :    Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3)    Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas
Rasional    :    Kateter biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena oedema urethral dan kehilangan tonus.
4)    Dorong masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas
Rasional    :    Mengurangi resiko bekuan akibat adanya perdarahan sekunder, pemasangan kateter, mengevakuasi residu urine akibat sumbatan bekuan darah.
5)    Kolaborasi: pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode paska operasi dini
Rasional    :    Mencuci kandung kemih dari bekuan darah untuk mempertahankan patensi dan aliran kateter.
b.    Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah; kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana intervensi:
1)    Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional    :    Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2)    Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional    :    Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
3)    Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut
Rasional    :    Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4)    Evaluasi warna dan konsistensi urine
Rasional    :    Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5)    Inspeksi balutan atau luka drain
Rasional    :    Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
6)    Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaporesis, membran mukosa kering dan pucat
Rasional    :    Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7)    Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional    :    Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8)    Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode pemasangan dan pengendoran traksi
Rasional    :    Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol perdarahan.


9)    Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi
Rasional    :    Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko perdarahan rectal perineal.
c.    Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Rencana tindakan:
1)    Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler
Rasional    :    Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2)    Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah
Rasional    :    Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.
3)    Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal)
Rasional    :    Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4)    Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional    :    Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5)    Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional    :    Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi
d.    Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Rencana intervensi:
1)    Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10)
Rasional    :    Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung kemih.
2)    Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan dan lekukan
Rasional    :    Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko distensi dan spasme kandung kemih.
3)    Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik relaksasi
Rasional    :    Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
4)    Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional    :    Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
e.    Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit (Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat, protein, vitamin dan mineral.
Rencana intervensi:
1)    Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional    :    Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses penyembuhan luka.
2)    Pantau status hipermetabolisme
Rasional    :    Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3)    Evaluasi kemungkinan penyebab mual
Rasional    :    Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4)    Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung
Rasional    :    Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat meningkatkan nafsu makan yang baik.
5)    Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional    :    Variasi jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang mengakibatkan ketidakcukupan masukan peroral.
6)    Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan
Rasional    :    Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7)    Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional    :    Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f.    Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil:
Eliminasi efektif pasca operasi
Rencana intervensi:
1)    Kaji bising usus
Rasional    :    Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2)    Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi
Rasional    :    Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3)    Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan adekuat, posisi yang tepat.
Rasional    :    Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus akibat kurang residu.
4)    Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan pemberian laxatif
Rasional    :    Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
g.    Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis, inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1)    Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual
Rasional    :    Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2)    Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional    :    Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3)    Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien
Rasional    :    Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan hipertropi dapat berulang.
4)    Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional    :    Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
h.    Kurang perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000, hal 324)
Kriteria hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana intervensi:
1)    Kaji faktor penyebab dan penyulit
Rasional    :    Mencari penyebab kurang perawatan diri menentukan jenis bantuan yang diberikan pada pasien
2)    Tingkatkan partisipasi optimal
Rasional    :    Keterlibatan pasien dalam merawat dirinya sendiri meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3)    Bantu dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional    :    Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4)    Berikan reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai selama aktivitas
Rasional    :    Memberikan rasa percaya diri dan memberikan harga diri
5)    Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional    :    Partisipasi yang maksimal dapat dievaluasi sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
i.    Kurang pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi prognosis, kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000, hal 684)
Kriteria hasil:
1)    Menyatakan pemahaman prosedur bedah
2)    Berpartisipasi dalam program pengobatan
Rencana intervensi:
1)    Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional    :    Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2)    Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-buahan, meningkatkan diit tinggi serat
Rasional    :    Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca operasi
3)    Diskusikan pembatasan aktivitas
Rasional    :    Peningkatan tekanan abdominal yang menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat menimbulkan resiko perdarahan
4)    Berikan gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Rasional    :    Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang berdasarkan pada kebutuhan informasi dari pasien.
5)    Instruksikan perawatan lanjut atau kontrol
Rasional    :    Tindak lanjut untuk perawatan luka, pengangkatan jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi lukanya.
»»  READMORE...

ASKEP BATU SALURAN KEMIH

BATU SALURAN KEMIH

1. Pengertian
Adanya batu (kalkuli) pada saluran perkemihan dalam ginjal, ureter, atau kandung kemih  yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat dan magnesium.
Batu dapat menyebabkan obstruksi, infeksi atau oedema pada saluran perkemihan, kira-kira 75% dari semua batu yang terbentuk terdiri atas; kalsium
Faktor resiko batu ginjal meliputi;stasis perkemihan,infeksi saluran perkemihan, hiperparatiroidismempenyakit infeksi usus, gout, intake kalsium dan vit D berlebih, immobilitas lama dan dehidrasi.
2. Faktor –faktor yang mempengaruhgi pembentukan batu;
a. Faktor intrinsik
Hereditair (keturunan), umur 30-50 tahun, Jenis kelamin laki-laki > perempuan
b. Faktor ekstrinsik
Geografik, Iklim dan temperatur, Asupan air , Diet (banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu.
Penjelasan lain;
a. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing . Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali.
b. Stasis dan Obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah pembentukan batu saluran kencing.
c. Jenis kelamin
Pria lebih banyak daripada wanita
d. Ras
Pada daerah tertentu angka kejadian batu saluran kemih lebih tinggi daripada daerah lain, Daerah bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
e.Keturunan
di duga diturunkan dari orang tuanya..
f. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu ,sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat
g. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
h.Suhu
Tempat yang bersuhu  panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat sedangkan asupan air kurang dan tingginya kadar mineral dalam air minum meningkatkan insiden batu saluran kemih
i. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas BSk berkurang  .Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita BSK ( buli-buli dan Urethra )

4. Patogenesis
Sebagian besar batu saluran kencing adalah idiopatik,bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.
5. Teori terbentuknya batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya BSK. memerlukan adanya substansi organik sebagai inti .Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoproptein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti; sistin,santin,asam urat,kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristaliasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substasi dalam urine .Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin,santin,asam dan garam urat,urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat..
d. Teori Berkurangnya faktor penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfatpolifosfat, sitrat magnesium.asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya BSK.
6. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Urinalisa; warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan SDM, SDP, kristal ( sistin,asam urat,kalsium oksalat), ph asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali ( meningkatkan magnesium,  fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam :kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan ISK, BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap: Hb,Ht,abnormal bila psien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal ( PTH. Merangsang reabsobsi kalsiumm dari tulang, meningkatkan  sirkulasi s\erum dan kalsium urine.
d. Foto Rntgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang urewter.
e. IVP.: memberukan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri,abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau efek obstruksi.
g. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi,dan lokasi batu. :
7. Penatalaksanaan;
a. Menghilangkan obstruksi
b. Mengobati infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri.
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi
8. Komplikasi:
a.Infeksi
b.Obstruksi
c.Hidronephrosis.
9. Asuhan Keperawatan
A.Pengkajian Data Dasar Pada Pasien Dengan Batu Saluran Kencing
Aktivitas/istrirahat
Kaji tentang pekerjaan yang monoton,lingkungan pekerjaan apakah pasien terpapar suhu tinnggi,keterbatasan aktivitas ,misalnya karena penyakit yang kronis atau adanya cedera pada medulla Spinalis.
Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan Darah/Nadi, yang disebabkan ;nyeri,ansietas atau gagal ginjal.Daerah ferifer apakah teraba hangat(kulit) merah atau pucat.
Eliminasi
Kaji adanya riwayat ISK kronis.obstruksi sebelumnya(kalkulus)
Penurunan haluaran urinr, kandung kemih penuh, rasa terbekar saat BAK. Keinginan /dorongan ingin berkemih terus, oliguria, haematuria, piuri atau perubahan pola berkemih.
Makanan / cairan;
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diit tinggi purin, kalsium oksalat atau fosfat, atau ketidak cukupan pemasukan cairan tidak cukup minum, terjadi distensi abdominal, penurunan bising usus.
Nyeri/kenyamanan
Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik.lokasi tergantung pada lokasi batu misalnya pada panggul di regio sudut kostovertebral dapat menyebar ke punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha’genetalia, nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri yang khas adalah nyeri akut tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi .
Keamanan
Kaji terhadap penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau menggigil.
Riwayat Penyakit :
Kaji adanya riwayat batu saluran kemih pada keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis, riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme, penggunaan antibiotika, anti hipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin D.
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul adalah ;
1) Nyeri akut b/d peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi uroteral,trauma jaringan, pembentukan oedema, iskemia seluler.
2) Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral, inflamsi atau obstruksi mekanik.
3) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d mual muntal, diuresis paska obstruksi.
4) Kurang pengetahuan tentang diet, kebutuhan pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi.
Download askep selengkapnya klik disini
»»  READMORE...