Social Icons

Jumat, 28 Desember 2012

Askep skin graft (cangkok kulit)


SKIN GRAFT

A.    Pengertian
Graft adalah jaringan hidup yang dicangkokkan, misalnya kulit, tulang, sumsum tulang, kornea dan organ-organ lain seperti ginjal, jantung, paru-paru, pankreas serta hepar (Brooker, 2001:184).
Menurut Heriady (2005), skin graft adalah menanam kulit dengan ketebalan tertentu baik sebagian maupun seluruh kulit yang diambil atau dilepaskan dari satu bagian tubuh yang sehat (disebut daerah donor) kemudian dipindahkan atau ditanamkan ke daerah tubuh lain yang membutuhkannya (disebut daerah resipien). Skin graft adalah penempatan lapisan kulit baru yang sehat pada daerah luka (Blanchard, 2006:1). Diantara donor dan resipien tidak mempunyai hubungan pembuluh darah lagi sehingga memerlukan suplai darah baru untuk menjamin kehidupan kulit yang dipindahkan tersebut (Heriady, 2001:1).

B.    Indikasi
Skin graft dilakukan pada pasien  yang mengalami kerusakan kulit yang hehat sehingga terjadi gangguan pada fungsi kulit itu sendiri, misalnya pada luka bakar yang hebat, ulserasi, biopsi, luka karena trauma atau area yang terinfeksi dengan kehilangan kulit yang luas. Penempatan graft pada luka bertujuan untuk mencegah infeksi, melindungi jaringan yang ada di bawahnya

serta mempercepat proses penyembuhan. Dokter akan mempertimbangkan pelaksanaan prosedur skin graft berdasarkan pada beberapa faktor yaitu: ukuran luka, tempat luka dan kemampuan kulit sehat yang ada pada tubuh (Blanchard, 2006:2).
Daerah resipien diantaranya adalah luka-luka bekas operasi yang luas sehingga tidak dapat ditutup secara langsung dengan kulit yang ada disekitarnya dan memerlukan tambahan kulit agar daerah bekas operasi dapat tertutup sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung secara optimal (Heriady, 2005:2).

C.    Klasifikasi Skin Graft
Beberapa perbedaan jenis skin graft menurut Blanchard (2006) adalah:
1.    Autograft
Pemindahan atau pemotongan kulit dari satu lokasi ke lokasi lain pada orang yang sama.
2.    Allograft
Kulit berasal dari individu lain atau dari kulit pengganti.
3.    Xenograft
Pencangkokkan dibuat dari kulit binatang atau pencangkokkan antara dua spesies yang berbeda. Biasanya yang digunakan adalah kulit babi. 
Klasifikasi skin graft berdasarkan ketebalan kulit yang diambil dibagi menjadi 2, yaitu ( Heriady, 2005:2 ) :


1.    Split Thicknes Skin Graft ( STSG )
STSG mengambil epidermis dan sebagian dermis berdasarkan ketebalan kulit yang dipotong, Revis (2006) membagi STSG sendiri menjadi 3 kategori yaitu :
a.    Tipis (0,005 - 0,012 inci)
b.    Menengah (0,012 - 0,018 inci)
c.    Tebal (0,018 - 0,030 inci)
STSG dapat bertahan pada kondisi yang kurang bagus mempunyai tingkat aplikasi yang lebih luas. STSG digunakan untuk melapisi luka yang luas, garis rongga, kekurangan lapisan mukosa, menutup flap pada daerah donor dan melapisi flap pada otot. STSG juga dapat digunakan untuk mencapai penutupan yang menetap pada luka tetapi sebelumnya harus didahului dengan pemeriksaan patologi untuk menentukan rekonstruksi yang akan dilakukan.
Daerah donor STSG dapat sembuh secara spontan dengan sel yang disediakan oleh sisa epidermis yang ada pada tubuh dan juga dapat sembuh secara total. STSG juga mempunyai beberapa dampak negatif bagi tubuh yang perlu dipertimbangkan. Aliran pembuluh darah serta jaringan pada STSG mempunyai sifat mudah rusak atau pecah terutama bila ditempatkan pada area yang luas dan hanya ditunjang atau didasari dengan jaringan lunak serta biasanya STSG tidak tahan dengan terapi radiasi (Revis, 2006: 3). STSG akan menutup selama penyembuhan, tidak tumbuh dengan sendirinya dan harus dirawat agar dapat menjadi lebih lembut, dan 

tampak lebih mengkilat daripada kulit normal. STSG akan mempunyai pigmen yang tidak normal salah satunya adalah berwarna putih atau pucat atau kadang hiperpigmentasi, terutama bila pasien mempunyai warna kulit yang lebih gelap. Efek dari penggunaan STSG adalah kehilangan ketebalan kulit, tekstur lembut yang abnormal, kehilangan pertumbuhan rambut dan pigmentasi yang tidak normal sehingga kurang sesuai dari segi kosmetik atau keindahan. Jika digunakan pada luka bakar yang luas pada daerah wajah, STSG mungkin akan menghasilkan penampilan yang tidak diinginkan. Terakhir, luka yang dibuat pada daerah donor dimana graft tersebut dipotong selalu akan lebih nyeri daripada daerah resipien.
2.    Full Thickness Skin Graft ( FTSG )
FTSG lebih sesuai pada area yang tampak pada wajah bila flap (potongan kulit yang disayat dan dilipat) pada daerah setempat tidak diperoleh atau bila flap dari daerah setempat tidak dianjurkan. FTSG lebih menjaga karakteristik dari kulit normal termasuk dari segi warna, tekstur/ susunan, dan ketebalan bila dibandingkan dengan STSG. FTSG juga mengalami lebih sedikit pengerutan selama penyembuhan. Ini adalah sama pentingnya pada wajah serta tangan dan juga daerah pergerakan tulang sendi. FTSG pada anak umumnya lebih disukai karena dapat tubuh dengan sendirinya. Prosedur FTSG memiliki beberapa keuntungan  antara lain : relatif sederhan, tidak terkontaminasi / bersih, pada daerah luka memiliki vaskularisasi yang baik dan tidak mempunyai tingkat aplikasi yang luas seperti STSG.

D.    Daerah Donor Skin Graft
Pilihan daerah donor biasanya berdasarkan pada penampilan yang diinginkan pada daerah resipien. Hal ini lebih penting pada FTSG karena karakteristik kulit pada daerah donor akan lebih terpelihara oleh bahan yang dipindahkan pada tempat yang baru. Ketebalan, tektur, pigmentasi, ada atau tidaknya rambut harus sangat diperhatikan (Revis, 2006:4). Menurut Heriady (2005), daerah donor untuk FTSG dapat diambil dari kulit dibelakang telinga, dibawah atau diatas tulang selangka (klavikula), kelopak mata, perut, lipat paha dan lipat siku. Sebagian besar daerah donor ini sering dipakai untuk menutup luka pada daerah wajah atau leher. Pemotongan yang dilakukan pada daerah wajah sebaiknya harus berhati-hati untuk mempertahankan kesimetrisan wajah dari segi estetik. Bagian kulit yang tidak ditumbuhi oleh rambut dan berfungsi untuk melapisi tangan dapat diambil dari batas tulang hasta dan telapak kaki dengan penyesuaian warna, tekstur dan ketebalan yang tepat. Graft dengan pigmen yang lebih gelap diperoleh dari preposium (kulup), scrotum, dan labia minora (Rives, 2006:5).
Daerah donor untuk STSG dapat diambil dari daerah mana saja di tubuh seperti perut, dada, punggung, pantat, anggota gerak lainnya. Namun, umumnya yang sering dilakukan diambil dari kulit daerah paha (Heriady, 2005:2). Daerah donor dari paha lebih disukai karena daerah ini lebih lebar dan lebih mudah sembuh (Bakar, 2003:1). Daerah pantat juga dapat digunakan sebagai daerah donor, tetapi biasanya pasien akan mengeluh nyeri setelah operasi dan akan memerlukan bantuan untuk merawat luka. Menurut Rives

(2006), kulit kepala dapat digunakan pada prosedur FTSG untuk melapisi daerah wajah yang luas dan terutama berguna untuk luka bakar yang hebat dengan ketersediaan daerah donor yang terbatas. Untuk luka pada tangan, daerah lengan atas bagian dalam dapat dipertimbangkan untuk dijadikan daerah donor. 

E.    Daerah Resipien Skin Graft
Komponen penting yang menjamin suksesnya skin graft adalah persiapan pada daerah resipien. Kondisi fisiologis pada daerah resipien harus mampu menerima serta memelihara graft itu sendiri. Skin graft tidak akan dapat bertahan hidup pada jaringan yang tidak dialiri darah. Skin graft akan dapat bertahan hidup pada periosteum, perikondrium, dermis, fasia, otot, dan jaringan granulasi.
Pasien dengan luka akibat aliran vena yang lamban (stasis vena) atau ketidakcukupan arteri perlu untuk diobati terlebih dahulu sebelum melakukan pemindahan kulit. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan graft dapat bertahan hidup (Rives, 2006:5). Luka juga harus bebas dari jaringan yang mati dan bersih dari bakteri. Bakteri yang berjumlah lebih dari 100.000/cm² akan berkumpul sehingga dapat menyebabkan graft gagal.

F.    Prosedur Operasi
Teknik operasi yang hati-hati adalah syarat penting agar graft dapat hidup. Setelah melakukan prosedur anestesi dengan tepat baik menggunakan lokal,

regional atau general anestesi, tindakan selanjutnya adalah mempersiapkan luka untuk pemindahan kulit. Ini termasuk membersihkan luka dengan larutan garam atau betadine yang diencerkan, kemudian membersihkan luka dengan pengeluaran benda asing dan membuang jaringan yang rusak atau yang terinfeksi atau biasa disebut debridement serta mencapai hemostasis dengan cermat (Brooker, 2001:122). Kontrol hemostatik yang baik dapat diperoleh dengan pengikatan, tekanan yang lembut, pemberian substansi topikal sebagai vasokonstriksi, misalnya epinefrin atau alat bedah pembakar dengan tenaga listrik (electrocautery). Penggunaan alat ini harus diminimalkan karena dapat mengganggu kehidupan jaringan. Penggunaan obat topikal atau epinefrin yang disuntikkan pada daerah donor atau resipien tidak akan membahayakan kelangsungan hidup graft (Rives, 2006:6). Teknik operasi yang dilakukan pada tiap jenis skin graft tentunya akan berbeda-beda, tergantung pada jenis yang akan digunakan. Menurut Rives (2006), teknik operasi yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
a.    Full Thickness Skin Graft (FTSG)
FTSG dipotong menggunakan pisau bedah. Pada awalnya dilakukan pengukuran pada luka, pembuatan pola serta pola garis yang dibuat lebih besar pada daerah donor. Pola sebaiknya diperluas atau diperbesar kurang lebih 3-5 % untuk mengganti kerusakan dengan segera terutama terjadinya penyusutan atau pengerutan akibat kandungan serat elastik yang terdapat pada graft dermis. Kemudian daerah donor mungkin akan diinfiltrasi menggunakan anestesi lokal

dengan atau tanpa epinefrin. Infiltrasi sebaiknya dilakukan setelah sketsa graft dilukis pada kulit untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Setelah pola di insisi, kulit diangkat pada sisi epidermis dengan tangan yang tidak dominan menggunakan penjepit kulit. Tindakan ini akan memberikan ketegangan dan rasa pada ketebalan graft ketika tangan memotong graft hingga ke dasar lemak subcutan (Rives, 2006:7). Beberapa sisa jaringan lemak harus dipotong dari sisi bawah graft, karena lemak ini tidak mengandung pembuluh darah  dan akan mencegah hubungan langsung antara dermis graft dan dasar luka. Pemotongan sisa lemak subcutan secara profesional menggunakan alat yang runcing, gunting bengkok, dan sisa-sisa dermis yang berkilau pada bagian dalam.
b.    Split Thickness Skin Graft (STSG)
Ada beberapa tahap pelaksanaan prosedur skin graft dengan jenis STSG, antara lain: proses pemotongan, pemasukan graft, dan proses pembalutan.
a) Pemotongan
 Untuk memperoleh hasil pemotongan terbaik pada graft tentunya harus ditunjang dengan teknik pemotongan yang benar. Pemotongan pada STSG dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu (Rives, 2006:7):
1)    Mata pisau dermatom
Biasanya teknik ini menggunakan mata pisau dermatom, yang mampu memotong pada graft yang luas dengan ketebalan yang sama. Dermatom dapat dioperasikan dengan tenaga udara atau manual. Dermatom yang biasa digunakan termasuk Castroviejo, Reese, Padgett-Hood, Brown, Davol-Simon, dan Zimmer. Tanpa memperhatikan alat yang digunakan, anestesi yang cukup harus segera ditentukan karena pemotongan pada skin graft merupakan prosedur yang dapat menyebabkan nyeri. Lidocain dengan epinefrin disuntikkan ke daerah donor untuk mengurangi hilangnya darah dan memberikan turgor kulit yang bagus sehingga dapat membantu dalam pemotongan.
2)    Drum Dermatom
Drum dermatom ( Reese, Padgett-Hood ) akhir-akhir ini jarang digunakan tetapi masih tersedia untuk keperluan pemindahan kulit tertentu. Alat ini memiliki mata pisau yang bergerak dengan tenaga manual seperti drum yang berputar diatas permukaan kulit. Alat ini dapat digunakan lembaran kulit yang luas dengan ketebalan yang tidak teratur. Ini sangat berguna pada daerah donor dengan kecembungan, kecekungan atau keadaan tulang yang menonjol (leher, panggul, pantat), karena potongan kulit yang pertama menempel pada drum dengan menggunakan lem khusus atau plester pelekat. Alat ini juga dapat mengikuti pola

yang tidak teratur dengan tepat untuk dipotong dengan perubahan pola yang diinginkan dengan direkatkan pada kulit dan drum. Kerugian dari penggunaan alat ini adalah kemungkinan terjadinya cedera pada operator sendiri akibat ayunan mata pisau, penggunaan agen  yang mudah terbakar seperti eter atau aseton untuk membersihkan daerah donor dan memindahkan permukaan minyak untuk memastikan terjaminnya perlekatan yang kuat antara kulit dan drum dermatom serta diperlukannya teknik keahlian yang tinggi agar dapat menggunakan peralatan operasi dengan aman dan efektif (River, 2006:8).
3)    Free-Hand
Metode pemotongan lain untuk jenis STSG adalah free hand dengan pisau. Meskipun ini metode ini dapat dilakukan dengan pisau bedah, alat yang lain seperti pisau Humby, mata pisau Weck dan pisau Blair. Kelemahan dari metode ini adalah tepi graft menjadi tidak rata dan perubahan ketebalan. Sama seperti drum dermatom, keahlian teknik sangat diperlukan dan perawatan kualitas graft lebih bergantung pada operator daripada menggunakan dermatom yang menggunakan tenaga listrik atau udara.
4)    Dermatom dengan tenaga udara dan listrik
Bila menggunakan dermatom jenis ini, ahli bedah harus terbiasa dengan pemasangan mata pisau dan bagaimana mengatur

ketebalan graft serta memeriksa peralatan sebelum operasi dimulai. Terdapat dua pemahaman yang tepat dan kurang tepat mengenai mata pisau. Hal ini akan membingungkan bagi anggota ruang operasi yang kurang berpengalaman. Penempatan mata pisau bedah nomor 15 digunakan pada ketebalan 0,015 inci dan dapat digunakan untuk memeriksa penempatan ketebalan yang sama dan tepat.
    Langkah awal pada proses pemotongan adalah dengan mensterilisasi daerah donor menggunakan betadine atau larutan garam yang lain. Kemudian daerah donor diberi minyak mineral untuk melicinkan kulit dan dermatom sehingga dermatom akan mudah bergerak diatas kulit. Dermatom dipegang dengan tangan dominan dengan membentuk sudut 30-45º dari permukaan daerah donor. Tangan yang tidak dominan berfungsi sebagai penahan dan diletakkan di belakang dermatom. Asisten operasi bertugas sebagai penahan pada bagian depan dermatom, memajukan dan mengaktifkan dermatom dengan lembut serta melanjutkan gerakan pada seluruh permukaan kulit dengan tekanan yang menurun dengan lembut. Setelah ukuran yang sesuai dipotong, dermatom dimiringkan menjauhi kulit dan diangkat dari kulit untuk memotong tepi distal graft dan tahap pemotongan selesai. Bila pada proses pemotongan terjadi pembukaan pada lapisan lemak, ini mengindikasikan bahwa

insisi yang dilakukan terlalu ke dalam  atau mungkin karena teknik yang salah dalam pemasangan dermatom.
    b) Pelubangan
            Teknik ini berguna untuk memperluas permukaan area graft hingga 9 kali permukaan area donor. Teknik ini juga sangat berguna jika kulit donor tida cukup untuk menutup area luka yang luas, misalnya pada luka bakar mayor atau ketika daerah resipien memiliki garis yang tidak teratur. Bagian graft dilubangi agar cairan pada luka dapat keluar melalui graft daripada berakumulasi dibawah graft. Perluasan bagian graft ini tidak akan dapat mengatasi adanya hematom pada dasar graft. Bila telah mengalami proses penyembuhan, graft akan tampak seperti kulit buaya. Karena teknik ini kurang baik dari segi estetika dan terjadinya pengerutan yang lebih lanjut, maka penggunaan teknik ini harus dihindari pada daerah pergerakan dan wajah, tangan dan area lain yang terlihat.
c)    Pemasukan graft
Setelah graft dipotong, tindakan selanjutnya adalah mengamati hemostasis. Setelah semuanya sempurna, kemudian graft ditempatkan pada dasar luka. Pada tahap ini perhatian harus difokuskan  pada sisi bawah kulit. Meskipun terlihat sederhana dan nyata, dermis dan epidermis kadang tampak serupa bila tidak dilakukan inspeksi dengan sangat dekat dan teliti pada kulit individu yang berwarna terang. Perawatan juga harus dilakukan untuk

mencegah pengkerutan atau peregangan yang berlebihan pada graft. Graft harus benar-benar diletakkan dengan benar pada daerah resipien untuk menjamin perlekatan dasar serta proses penyembuhan. Tahap ini diakhiri dengan penjahitan atau penggunaan staples untuk menjaga agar graft menempel kuat pada kulit disekitar dasar luka. Staples sangat berguna untuk luka yang lebih dalam daripada permukaan kulit sekitarnya. Efek dari penggunaan staples adalah rasa nyeri yang hebat dan dapat mengganggu perlekatan graft pada luka ketika dilakukan pengambilan kira-kira 7 – 10 hari setelah operasi.
Kemampuan penyerapan benang juga perlu diperhatikan. Biasanya benang dengan empat sudut digunakan untuk menahan graft dengan beberapa pertimbangan, kemudian penjahitan dilakukan disekitar perifer. Ini membantu sebagai jalan keluar pertama jarum melewati graft kemudian melalui margin disekitar luka untuk mencegah pengangkatan graft dari dasar luka.
d)    Pembalutan
Pembalutan dilakukan untuk memberikan tekanan yang sama pada seluruh area graft tanpa adanya perlekatan. Pembalutan juga bertujuan untuk mengimobilisasikan area graft dan mencegah pembentukan hematom pada bagian bawah graft. Menurut Blanchard (2006), pembalutan awal dilakukan pada daerah resipien segera setelah pemindahan kulit dilakukan dan baru diganti setelah 3 hingga

7 hari berikutnya. Pembalutan yang baru dapat dilakukan pada seluruh daerah graft hingga skin graft benar-benar sembuh. Biasanya pada lokasi donor ditempatkan langsung lembaran kasa yang halus dan tidak melekat. Kemudian diatasnya dipasang kasa absorben untuk menyerap darah atau serum dari luka. Kasa selaput (seperti Op-Side) dapat digunakan untuk memberikan manfaat tertentu, yaitu kasa ini bersifat transparan dan memungkinkan pemeriksa untuk melihat luka tanpa menggangu kasa pembalutnya semantara pasien tidak perlu khawatir ketika mandi karena kasa pembalut tersebut tidak menyerap air (Smeltzer & Bare, 2002:1899).
Setelah skin graft dilakukan, proses yang terjadi selanjutnya adalah regenerasi termasuk pertumbuhan kembali rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Pada prosedur STSG, kelenjar keringat tidak akan dapat sembuh secara total sehingga akan berdampak pada masalah pengaturan panas. Tidak adanya kelenjar sebasea pada kulit dapat menyebabkan kulit menjadi kering, gatal dan bersisik. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya dilakukan pemberian lotion dengan frekuensi sering.
           
G.    Proses Penyembuhan
Menurut Rives (2006), masa penyembuhan dan kelangsungan hidup graft terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1.    Perlekatan dasar
Setelah graft ditempatkan, perlekatan dasar luka melalui jaringan fibrin yang tipis merupakan proses sementara hingga sikulasi dan hubungan antar jaringan telah benar-benar terjadi.
2.    Penyerapan Plasma
Periode waktu antara pemindahan kulit dengan revaskularisasi pada graft merupakan fase penyerapan plasma. Graft akan menyerap eksudat pada luka dengan aksi kapiler melalui struktur seperti spon pada graft dermis dan melalui pembuluh darah dermis.Ini berfungsi untuk mencegah pengeringan terutama pada pembuluh darah graft dan menyediakan makanan bagi graft. Keseluruhan proses ini merupakan respon terhadap kelangsungan hidup graft selama 2–3 hari hingga sirkulasi benar-benar adekuat. Selama tahap ini berlangsung, graft akan mengalami edema dan beratnya akan meningkat  hingga 30-50%. 
3.    Revaskularisasi
Revaskularisasi pada graft dimulai pada hari ke 2-3 post skin graft dengan mekanisme yang belum diketahui. Tanpa memperhatikan mekanisme, sirkulasi pada graft akan benar-benar diperbaiki pada hari ke 6 – 7 setelah operasi. Tanpa adanya perlekatan dasar, imbibisi plasma dan revaskularisasi, graft tidak akan mampu bertahan hidup.
4.    Pengerutan luka
Pengerutan pada luka merupakan hal yang serius dan merupakan masalah yang berhubungan dengan segi kosmetik tergantung pada lokasi dan tingkat keparahan pada luka. Pengerutan pada wajah mungkin dapat menyebabkan terjadinya ektropion, serta retraksi pada hidung. Kemampuan skin graft untuk melawan terjadinya pengerutan berhubungan dengan komponen ketebalan kulit yang digunakan sebagai graft.
5.    Regenerasi
Epitel tubuh perlu untuk beregenerasi setelah proses pencangkokkan kulit berlangsung. Pada STSG, rambut akan tumbuh lebih jarang atau lebih sedikit pada daerah graft yang sangat tipis. Graft mungkin akan kering dan sangat gatal pada tahap ini. Pasien sering mengeluhkan kulit yang tampak kemerahan. Salep yang lembut mungkin akan diberikan pada pasien untuk membantu dalam menjaga kelembaban pada daerah graft dan mengurangi gatal. 
6.    Reinnervasi
Reinnervasi pada graft terjadi dari dasar resipien dan sepanjang perifer. Kembalinya sensibilitas pada graft juga merupakan proses sentral. Proses ini biasanya akan dimulai pada satu bulan pertama tetapi belum akan sempurna hingga beberapa tahun.
7.    Pigmentasi
Pigmentasi pada FTSG akan berlangsung lebih cepat dengan pigmentasi yang hampir serupa dengan daerah donor. Pigmentasi pada STSG akan terlihat lebih pucat atau putih dan akan terjadi hiperpigmentasi dengan kulit tampak bercahaya atau mengkilat. Untuk mengatasi hal ini biasanya akan dianjurkan untuk melindungi daerah graft dari sinar matahari secara langsung selama 6 bulan atau lebih.

H.    Komplikasi
Skin graft banyak membawa resiko dan potensial komplikasi yang beragam tergantung dari jenis luka dan tempat skin graft pada tubuh. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain (Blanchard, 2006:2):
1.    Kegagalan graft
Menurut Revis (2006), skin graft dapat mengalami kegagalan karena sejumlah alasan. Alasan yang paling sering terjadi adalah adanya hubungan yang kurang baik pada graft atau kurangnya perlekatan pada dasar daerah resipien. Timbulnya hematom dan seroma dibawah graft akan mencegah hubungan dan perlekatan pada graft dengan lapisan dasar luka. Pergerakan pada graft atau pemberian suhu yang tinggi pada graft juga dapat menjadi penyebab kegagalan graft.


Sumber kegagalan yang lain diantaranya adalah daerah resipien yang buruk. Luka dengan vaskularisasi yang kurang atau permukaan luka yang terkontaminasi merupakan alasan terbesar bagi kegagalan graft. Bakteri dan respon terhadap bakteri akan merangsang dikeluarkannya enzim proteolitik dan terjadinya proses inflamasi pada luka sehingga akan mengacaukan perlekatan fibrin pada graft. Teknik yang salah juga dapat menyebabkan kegagalan graft. Memberikan penekanan yang terlalu kuat, peregangan yang terlalu ketat atau trauma pada saat melakukan penanganan dapat menyebabkan graft gagal baik sebagian ataupun seluruhnya.
2.    Reaksi penolakan terhadap skin graft
3.    Infeksi pada daerah donor atau daerah resipien.
4.    Cairan yang mengalir keluar dari daerah graft.
5.    Munculnya jaringan parut
6.    Hiperpigmentasi
7.    Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena penggunaan staples pada proses perlekatan graft atau juga karena adanya torehan, tarikan atau manipulasi jaringan atau organ (Long, 1996:60). Hal ini diduga bahwa ujung-ujung saraf normal yang tidak menstransmisikan sensasi nyeri menjadi mampu menstransmisikan sensasi nyeri (Smeltzer, 2002:214). Reseptor nyeri yang merupakan serabut saraf

mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel mast, folikel rambut, kelenjar keringat dan melepaskan histamin, bradikinin, prostaglandin dan macam-macam asam yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri. Nosiseptor berespon mengantar impuls ke batang otak untuk merespon rasa nyeri.
8.    Hematom
Hematom atau timbunan darah dapat membuat kulit donor mati. Hematom biasanya dapat diketahui lima hari setelah operasi. Jika hal ini terjadi maka kulit donor harus diambil dan diganti dengan yang baru (Perdanakusuma, 2006:1). Hematom juga menjadi komplikasi tersering dari pemasangan graft. 
9.    Kulit berwarna kemerahan pada sekitar daerah graft

I.    Asuhan Keperawatan
a.    Pengkajian yang akan dilakukan lebih berfokus pada keadaan kulit pasien antara lain (Smeltzer & Bare, 2002:1831): mengkaji keadaan umum kulit meliputi warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit, lesi, vaskularitas, mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit dinilai dengan palpasi. Pengkajian sirkulasi pada kulit sangat penting  diperhatikan dengan tujuan untuk memperoleh data apakah telah terjadi komplikasi akibat pemasangan graft dan untuk memantau kelangsungan hidup graft pada daerah resipien. Bila graft berwarna

merah muda, hal ini menunjukkan terjadinya proses vaskularisasi. Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan terjadinya hipoksia seluler atau sel kekurangan oksigen dan mudah terlihat pada ekstremitas, dasar kuku,  bibir serta membran mukosa (Smeltzer & Bare, 2002:1831).
2) Diagnosa dan intervensi keperawatan
A.    Gangguan rasa nyaman:nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
Tujuan      :
Klien melaporkan nyeri hilang, berkurang atau terkontrol
Kriteria hasil:
a)    Ekspresi wajah rileks
b)    Skala nyeri 0 – 4
c)    Klien dapat beristirahat
d)    Klien tidak mengeluh kesakitan
Intervensi :
1.    Kaji lokasi dan karakteristik nyeri
2.    Lakukan tindakan manajemen nyeri relaksasi dan distraksi
3.    Beri aktifitas yang tepat untuk klien
4.    Berikan lingkungan yang aman dan nyaman
5.    Berikan posisi senyaman mungkin
6.    Berikan analgetika (kolaborasi medik)
B.    Gangguan integritas jaringan kulit dan jaringan berhubungan dengan adanya tindakan invasif, bedah perbaikan, traksi pen.

Tujuan:
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit dan jaringan yang lebih parah.
Kriteria hasil :
a.    Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang
b.    Pasien menunjukkan perilaku/ teknik untuk mencegah kerusakan kulit/ memudahkan penyembuhan kulit.
c.    Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi
1.    Kaji integritas kulit pasien.
2.    Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
3.    Ubah posisi dengan sering.
4.    Tempatkan balutan pada area fraktur.
5.    Kaji posisi pada alat traksi.
6.    Observasi untuk potensial area yang tertekan.
7.    Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.
8.    Lakukan perawatan luka.
C.    Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera pada jaringan sekitar area luka
Tujuan:
    Klien dapat melakukan mobilitas fisik sesuai dengan toleransi.
    Kriteria hasil:
a.    Klien aktif dalam dalam rencana keperawatan.

b.    Klien dapat melakukan aktifitas fisik dan pemenuhan ADL.
Intervensi :
1.    Kaji kemampuan mobilitas
2.    Atur alih baring tiap 2 jam
3.    Bantu klien melakukan gerakan sendi secara aktif dan pasif.
4.    Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan aktifitas dalam lingkup terbatas.
5.    Bantu pasien dalam melakukan aktifitas yang dirasakan berat pada pasien.
6.    Libatkan keluarga klien selama perawatan.
D.    Defisit perawatan diri: bersihan diri berhubungan dengan kehilangan mobilitas, ketidakmampuan dalam pemenuhan ADL
Tujuan:
Tidak terjadi defisit perawatan diri: bersihan diri
 Kriteria hasil:
Klien menunjukkan aktifitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan pribadi.
Intervensi:
1.    Tentukan kemampuan saat ini dan hambatan untuk berpartisipasi dalam perawatan.
2.    Ikutsertakan klien dalam formulasi rencana perawatan pada tingkat kemampuan.
3.    Dorong perawatan diri.

4.    Berikan dan tingkatkan keleluasaan pribadi.
5.    Berikan keramas dan gaya rambut sesuai kebutuhan.
E.    Perubahan pola eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan perubahan pada tingkat aktifitas, penurunan peristaltik usus.
Tujuan:
Mempertahankan pola normal defekasi/ fungsi usus.
Kriteria hasil:
a.    Klien mendemonstrasikan perubahan pada gaya hidup
b.    Konstipasi tidak terjadi.
c.    Ikut serta dalam pola defekasi sesuai petunjuk.
Intervensi:
1.    Pastikan pola defekasi yang biasa (misal: penggunaan laksatif jangka panjang sebelumnya). Bandingkan dengan rutinitas saat ini.
2.    Kaji rasional masalah, singkirkan penyebab medis.
3.    Berikan diet dengan kadar serat tinggi.
4.    Dorong peningkatan masukan cairan (meningkatkan konsistensi feses nomal).
F.    Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer, trauma jaringan, tindakan invasif.
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
a.    Luka sembuh sesuai waktu.

b.    Bebas drainase purulen.
c.    Tidak terdapat tanda-tanda infeksi.
Intervensi:
1.    Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
2.    Monitor tanda-tanda vital.
3.    Lakukan perawatan luka dengan prinsip steril.
4.    Kolaborasi pemberian antibiotik..
5.    Kolaborasi pengecekan darah rutin.









DAFTAR PUSTAKA

Bakar, I. A. (2003). Cangkok kulit merupakan alternatif pilihan. (Online), (www. kompas.com/ver1/Muda/0606/14/192815.htm-17k- diakses tanggal 11 Juli 2006)

Blanchard, D. K, Lin, P & Lumsden, A. (2006). Skin graft. (Online), (www.debakeydepartmentofsurgery.org/home/content.cfm?proc_name=Skin+Graft+&content_id=272-19k- diakses tanggal 31 Juli 2006)

Brooker, C. (2001). The nurse’s pocket dictionary (31st ed.). Terjemahan  oleh Andry Hartono. Jakarta: EGC.

Carpenito, L. J. (2001). Handbook of nursing diagnosis (8th ed.). Terjemahan oleh Monika Ester. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI. (2000). Informatorium obat nasional indonesia 2000. Jakarta: Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan 2000.

Doenges, M. E. (2000). Application of nursing process and nursing diagnosis an intervensive text for diagnostic reasoning (2nd ed.). Terjemahan oleh Made Karisa. Jakarta: EGC.

Heriady, Yusuf. (2005). Manfaat transplantasi kulit pada pengobatan kanker. (Online), (www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=konsultasi&id=103880-31k- diakses tanggal 11 Juli 2006)

Long, B. C. (1996). Perawatan medikal bedah: Suatu pendekatan proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan UNPAD.

Potter, P. A & Perry, G. A. (2006). Fundamentals of nursing: concepts, process and practice (4th ed.). Terjemahan oleh Monika Ester. Jakarta: EGC.

Revis, D. R. (2006). Author information introduction graft selection donor site selection wound preparation operative technique graft Survival and healing graft failure biologic skin subsitutes bibliography. (Online). (www.baylor.vasculardomain.com diakses tanggal 31 Juli 2006)




 
»»  READMORE...

ASKEP STROKE NON HEMORAGIK

STROKE  NON HEMORAGIK

A.    Definisi
Gangguan  peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah  kehilangan fungsi otak yang diakibatkan   oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
 Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176).

B.    Etiologi
Penyebab-penyebabnya antara lain:
1.    Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak )
2.    Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain )
3.    Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak)
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

C.    Faktor resiko pada stroke
1.    Hipertensi
2.    Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
3.    Kolesterol tinggi
4.    Obesitas
5.    Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
6.    Diabetes Melitus ( berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
7.    Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi)
8.    Penyalahgunaan obat ( kokain)
9.    Konsumsi alkohol
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

D.    Manifestasi klinis
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain bersifat:
a.    Sementara
   Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
b.    Sementara,namun lebih dari 24 jam
    Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND)
c.    Gejala makin lama makin berat (progresif)
    Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution
d.    Sudah menetap/permanen
(Harsono,1996, hal 67)

E.        Patways
F.    Pemeriksaan Penunjang
1.    CT Scan   
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
2.     Angiografi serebral
membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri
3.    Pungsi Lumbal
-    menunjukan adanya tekanan normal
-    tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya  perdarahan
4.    MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5.    EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6.    Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7.    Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)

G. Penatalaksanaan
1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

H.KOMPLIKASI
Hipoksia Serebral
Penurunan darah serebral
Luasnya area cedera
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

I.    Pengkajian
a.    Pengkajian Primer
-    Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
-    Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
-    Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

b.    Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
-    kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
-    mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )
Data obyektif:
-    Perubahan tingkat kesadaran
-    Perubahan tonus otot  ( flaksid atau spastic),  paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
-    gangguan penglihatan
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
-    Riwayat penyakit jantung (  penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial ), polisitemia.
Data obyektif:
-    Hipertensi arterial
-    Disritmia, perubahan EKG
-    Pulsasi : kemungkinan bervariasi
-    Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
3. Integritas ego
Data Subyektif:
-    Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
-    Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
-    kesulitan berekspresi diri
4. Eliminasi
Data Subyektif:
-    Inkontinensia, anuria
-    distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ),  tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
5. Makan/ minum
Data Subyektif:
-    Nafsu makan hilang
-    Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
-    Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
-    Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
-    Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
-    Obesitas ( factor resiko )
6. Sensori neural
Data Subyektif:
-    Pusing / syncope  ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
-    nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral  atau perdarahan sub arachnoid.
-    Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
-    Penglihatan berkurang
-    Sentuhan  : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral ( sisi yang sama )
-    Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
-    Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
-    Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam  ( kontralateral )
-    Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
-    Afasia  ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
-    Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
-    Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
-    Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral

7. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
-    Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
-     Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
8. Respirasi
Data Subyektif:
-    Perokok ( factor resiko )
9.Keamanan
Data obyektif:
-    Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
-    Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
-    Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
-    Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
-    Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri
10. Interaksi social
Data obyektif:
-    Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
 (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

J. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah  : penyakit oklusi,  perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral
Dibuktikan oleh  :
-    Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori
-    Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan
-    Deficit sensori , bahasa, intelektual dan emosional
-    Perubahan tanda tanda vital

Tujuan  Pasien / criteria evaluasi ;
-    Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motor
-    Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK
-    Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran  / kekambuhan
Intervensi :
Independen
-    Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi  individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK
-    Monitor dan catat status neurologist secara  teratur
-    Monitor tanda tanda vital
-    Evaluasi pupil  (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya )
-    Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur, perubahan lapang pandang  / persepsi lapang pandang
-    Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
-    Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral .
-    Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan sesuai indikasi
Kolaborasi
-    berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
-    berikan medikasi sesuai indikasi :
·    Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )
·    Antihipertensi
·    Vasodilator perifer, missal cyclandelate,  isoxsuprine.
·    Manitol

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk, ketidakmampuan mengatasi lendir
Kriteria hasil:
-    Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
-    Ekspansi dada simetris
-    Bunyi napas bersih saat auskultasi
-    Tidak terdapat tanda distress pernapasan
-    GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
-    Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
-    Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
-    Penghisapan sekresi
-    Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
-    Berikan oksigenasi sesuai advis
-    Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3.    Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif
Kriteria hasil:
-    RR 18-20 x permenit
-    Ekspansi dada normal
Intervensi :
o    Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
o    Auskultasi  bunyi nafas.
o    Pantau penurunan bunyi nafas.
o    Pastikan kepatenan O2 binasal
o    Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
o    Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
o    Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
DAFTAR PUSTAKA


1.    Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
2.    Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan  pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993
3.    Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996
4.    Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth,   Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
 5.     Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta,  EGC, 2000
6. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996       








»»  READMORE...

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MATA

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MATA

Menurut sebabnya, trauma mata terbagi atas:
Trauma tumpul atau kontusio yang dapat di sebabkan oleh benda tumpul, benturan atau ledakan di mana terjadi pemadatan udara.
Trauma tajam, yang mungkin perforatif mungkin juga non perforatif, dapat juga di sertai dengan adanya korpus alienum atau tidak. Korpus alienum dapat terjadi di intraokuler maupun ekstraokuler.
Trauma termis oleh jilatan api atau kontak dengan benda membara.
Trauma khemis karena kontak dengan benda yang bersifat asam atau basa.
Trauma listrik oleh karena listrik yang bertegangan rendah maupun yang bertegangan tinggi.
Trauma barometrik, misalnya pada pesawat terbang atau menyelam.
Trauma radiasi oleh gelombang pendek atau partikel-partikel atom (proton dan neutron).

Tauma tumpul yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:
1.    Hematoma palpebra
Adanya hematoma pada satu mata merupakan keadaan yang ringan, tetapi bila terjadi pada kedua mata , hati-hati kemungkinan adanya fraktur basis kranii.
Penanganan:
Kompres dingin 3 kali sehari.

2.    Ruptura kornea
Kornea pecah, bila daerah yang pecah besar dapat terjadi prolapsus iris, merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan operasi segera.

3.    Ruptura membran descement
Di tandai dengan adanya garis kekeruhan yang berkelok-kelok pada kornea, yang sebenarnya adalah lipatan membran descement, visus sangat menurun dan kornea sulit menjadi jernih kembali.
Penanganan:
Pemberian obat-obatan yang membantu menghentikan perdarahan dan tetes mata kortisol.

4.    Hifema
Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh darah iris atau korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea dan endapan di bawah kornea, hal ini merupakan suatu keadaan yang serius.
Pembagian hifema:
Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.
Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
Hifema ringan tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat akan mempengaruhi visus karena adanya peningkatan tekanan intra okuler.
Penanganan:
Istirahat, dan apabila karena peningkatan tekanan intra okuli yang di sertai dengan glaukoma maka perlu adanya operasi segera dengan di lakukannya parasintesis yaitu membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian di beri salep mata antibiotik dan di tutup dengan verband.
Komplikasi hifema:
a.    Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah pada sudut kamera okuli anterior.
b.    Imhibisi kornea, yaitu masuknya darah yang terurai ke dalam lamel-lamel kornea, sehingga kornea menjadi berwarna kuning tengguli dan visus sangat menurun.
Penanganan terhadap imhibisi kornea:
Tindakan pembedahan yaitu keratoplastik.

5.    Iridoparese-iridoplegia
Adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis.
Penanganan:
Berikan pilokarpin, apabila dengan pemberian yang sampai berbulan-bulan tetap midriasis maka telah terjadi iridoplegia yang iriversibel.

6.    Iridodialisis
Ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi tdak bula dan di sebut dengan pseudopupil.
Penanganan:
Bila tidak ada keluhan tidak perlu di lakukan apa-apa, tetapi jika ada maka perlu adanya operasi untuk memfixasi iris yang lepas.

7.    Irideremia
Ialah keadaan di mana iris lepas secara keseluruhan.
Penanganan secara konservatif adalah dengan memberikan kacamata untuk mengurangi silau.

8.    Subluksasio lentis- luksasio lentis
Luksasio lentis yang terjadi bisa ke depan atau ke belakang. Jika ke depan akan menimbulkan glaukoma dan jika ke belakang akan menimbulkan afakia. Bila terjadi gaukoma maka perlu operasi untuk ekstraksi lensa dan jika terjadi afakia pengobatan di lakukan secara konservatif.

9.    Hemoragia pada korpus vitreum
Perdarahan yang terjadi berasal dari korpus siliare, kare na bnayak terdapat eritrosit pada korpus siliare, visus akan sangat menurun.

10.    Glaukoma
Di sebabkan oleh kare na robekan trabekulum pada sudut kamera okuli anterior, yang di sebut “traumatic angle” yang menyebabkan gangguan aliran akquos humour.
Penanganan di lakukan secara operatif.

11.    Ruptura sklera
Menimbulkan penurunan teknan intra okuler. Perlu adanya tindakan operatif segera.

12.    Ruptura retina
Menyebabkan timbulnya ablasio retina sehingga menyebabkan kebutaan, harus di lakukan operasi.
Pengkajian dasar
Aktivitas dan istirahat
Perubahan dalam pola aktivitas sehari-hari/ hobi di karenakan adanya penurunan daya/ kemampuan penglihatan.
Makan dan minum
Mungkin juga terjadi mual dan muntah kibat dari peningkatan tekanan intraokuler.
Neurosensori
Adanya distorsi penglihatan, silau bila terkena cahaya, kesulitan dalam melakukan adaptasi (dari terang ke gelap/ memfokuskan penglihatan).
Pandangan kabur, halo, penggunaan kacamata tidak membantu penglihatan.
Peningkatan pengeluaran air mata.
Nyeri dan kenyamanan
Rasa tidak nyaman pada mata, kelelahan mata.
Tiba-toba dan nyeri yang menetap di sekitar mata, nyeri kepala.
Keamanan
Penyakit mata, trauma, diabetes, tumor, kesulitan/ penglihatan menurun.
Pemeriksaan penunjang
Kartu snellen: pemeriksaan penglihatan dan penglihatan sentral mungkin mengalami penurunan akibat dari kerusakan kornea, vitreous atau kerusakan pada sistem suplai untuk retina.
Luas lapang pandang: mengalami penurunan akibat dari tumor/ massa, trauma, arteri cerebral yang patologis atau karena adanya kerusakan jaringan pembuluh darah akibat trauma.
Pengukuran tekanan IOL dengan tonography: mengkaji nilai normal tekanan bola mata (normal 12-25 mmHg).
Pengkajian dengan menggunakan optalmoskop: mengkaji struktur internal dari okuler, papiledema, retina hemoragi.
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul:
Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (tindakan pembedahan)
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi dengan kriteria: luka sembuh dengan cepat dan baik, tidak ada nanah, tidak ada eritema, tidak panas.
Rencana:
Diskusikan dan ajarkan pada pasien pentingnya cuci tangan ysng bersih sebelum menyentuh mata.
Gunakan dan demonstrasikan tehnik yang benar tentang cara perawatan dengan kapas yang steril serta dari arah yang dalam memutar kemudian keluar.
Jelaskan pentingnya untuk tidak menyentuh mata/ menggosok mata.
Diskusikan dan observasi tanda-tanda dari infeksi (merah, darinase yang purulen).
Kolaborasi dalam pemberian obat-obat antibiotik sesuai indikasi.
Penurunan sensori perceptual (penglihatan) berhubungan dengan adanya trauma, penggunaan alat bantu terapi.
Tujuan:
Dengan penurunan penglihatan tidak mengalami perubahan/ injuri.
Rencana:
a.    Kaji keadaan penglihatan dari kedua mata.
b.    Observasi tanda-tanda dari adanya disorientasi.
c.    Gunakan alat yang menggunkan sedikit cahaya (mencegah terjadinya pandangan yang kabur, iritasi mata).
d.    Anjurkan pada pasien untuk melakukan aktivitas yang bervariasi (mendengarkan radio, berbincang-bincang).
e.    Bantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
f.    Anjurkan pasien untuk mencoba melakukan kegiatan secara mandiri.
Kurangnya pengetahuan (perawatan) berhubungan dengan keterbatasab informasi.
Tujuan:
Pasien dan keluarga memiliki pengetahuan yang memadai tentang perawatan.
Rencana:
a.    Jelaskan kembali tentang keadaan pasien, rencana perawatan dan prosedur tindakan yang akan di lakukan.
b.    Jelaskan pada pasien agar tidak menggunakan obat tets mata secara senbarangan.
c.    Anjurkan pada pasien gara tidak membaca terlebih dahulu, “mengedan”,  “buang ingus”, bersin atau merokok.
d.    Anjurkan pada pasien untuk tidur dengan meunggunakan punggung, mengtur cahaya lampu tidur.
e.    Observasi kemampuan pasien dalam melakukan tindakan sesuai dengan anjuran petugas.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.

Junadi, Purnawan,  1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC.

Soeparman, 1990, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
»»  READMORE...

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MEKANIK MATA

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MEKANIK MATA

    Trauma mekanik pada mata sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak-anak dan orang dewasa muda. Pada kelompok inilah trauma pada mata sering terjadi (50%) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA).
    Meskipun mata telah mendapat perlindungan dari rongga orbita, rima orbita, alis, tulang pipi dan hidung, lemak orbita, reflex mengedip, bulu mata, sekresi kelenjar kelopak mata dan konjungtiva, juga dengan telah dibuatnya macam-macam alat untuk melindungi mata, tetapi frekwensi kecelakaan masih tinggi. Terlebih - lebih dengan bertambah banyaknya kawasan industri, kecelakaan akibat pekerjaan bertambah banyak pula, juga dengan bertambah ramainya lalu lintas, kecelakaan di jalan raya bertambah pula, belum terhitung kecelakaan akibat perkelahian, yang juga mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan mata biasanya terjadi akibat main panahan, ketepel, senapan angin atau akibat lemparan, tusukan dari gagang mainan.
    Sebaiknya bila ada trauma mekanik mata segera dilakukan pemeriksaan dan pertolongan karena kemungkinan fungsi penglihatan masih dapat dipertahankan. Adapun pemeriksaan - pemeriksaan yang diperlukan :
1.    Anamnesa
Kapan, dimana, ada saksi atau tidak, bagaimana visus sebelum trauma, penderita memakai kacamata atau tidak, kalau memakai kacamata pecah atau tidak,apakah ada benda asing masuk pada mata atau tidak.
2.    Status Lokalis
Dilakukan pemeriksaan pada setiap jaringan mata secara teliti dan cermat serta keadaan sekitar mata.
Trauma mekanik pada mata dibedakan ada 2 macam yaitu :
1). Trauma mekanik tumpul
2). Trauma mekanik tajam.

I.    Trauma Mekanik Tumpul
    Gelombang tekanan akibat trauma menyebabkann tekanan yang sangat tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata. Tekanan dalan bola mata ini akan menyebar antara cairan vitreus dan sclera yang tidak elastis. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada perbedaan elastisitas, misal daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum zinni dan corpus ciliaris.
Respon jaringan akibat trauma menimbulkan : 1). Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan menyebabkan kromatolisis sel. 2). Reaksi Pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka terjadi edema. 3). Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan pada cornea, sclera dan sebagainya.

A. Palpebra
1.  Perdarahan di palpebra = ecchymosis, black eye
    Pada perdarahan hebat, palpebra menjadi bengkak dan berwarna kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus, perdarahan ini dapat menjalar ke jaringan lain di muka, juga dapat menyeberang melalui pangkal hidung ke mata yang lain menimbulkan hematom kacamata (bril hematom) atau menjalar ke belakang menyebabkan eksofthalmos. Bila ecchymosisi tampak segera sesudah trauma, menunjukkan bahwa traumanya hebat, oleh karenanya harus dilakukan pemeriksaan seksama dari bagian mata yang lainnya. Juga perlu pemeriksaan foto rontgen tengkorak.
Bila tak terdapat kelainan mata lainnya dapat diberikan kompres dingin dan 24 jam kemudian kompres hangat untuk mempercepat resorpsi, disamping obat koagulansia. Bila perdarahan timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktura dari dasar tengkorak. Dari waktu antara trauma terjadi sampai timbulnya ecchymosis dapat diketahui kurang lebih letak fraktura tesebut. Kalau perdarahannya timbul 3 - 4 hari setelah trauma, maka frakturanya terletak di belakang sekali.

2.  Emfisema palpebra
    Menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga timbul hubungan langsung antara ruang orbita denga ruangan hidung atau sinus- sinus sekeliling orbita. Sering mengenai lamina papyricea os ethmoidalis, yang merupakan dinding medial dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.
Pengobatan : berikan balutan yang kuat untuk mempercepat hilangnya udara dari palpebra dan dinasehatkan jangan bersin atau membuang ingus karena dapat memperhebat emfisemanya. Kemudian disusul dengan pengobatan dari frakturanya.

3.  Luka laserasi di palpebra
    Bila luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera dijahit, tetapi bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang steril. Bila pembengkakannya telah berkurang, baru dijahit. Jangan membuang banyak jaringan, bila tidak perlu. Bila luka hebat, sehingga perlu skingraft, yang dapat diambil dari kulit retroaurikuler, brachial dan supraklavikuler.

4.  Ptosis
Kausa : - parese atau paralise m. palpebra superior (N. III.)
             - pseudoptosis, oleh karena edema palpebra
Bila ptosisnya setelah 6 bulan pengobatan denga kortikosteroid dan neurotropik tetap tak menunjukka perbaikan, mak dilakukan operasi.

B. Konjungtiva
1.  Perdarahan subkonjungtiva
    Tampak sebagai bercak merah muda atau tua, besar, kecil tanpa atau dsertai peradangan mata.
Pengobatannya, simptomatis dengan Sulfazinci, antibiotika bila taku terkena infeksi. Perdarahannya sendiri dapat diabsorbsi dalam 1 – 2 minggu, yang dapat dipercepat dengan pemberian kompres hangat selam 10 menit setiap kali. Kompres hangat jangan diberikan pada hari pertama, karena dapat memperhebat perdarahannya, pada waktu ini sebaiknya diberikan kompres dingin.

2. Edema
    Bila masif dan terletak sentral dapat mengganggu visus. Kondisi ini dapat diatasi dengan jalan reposisi konjungtiva atau menusuk konjungtiva sehingga terjadi  jalan untuk mengurangi edema tersebut. Dapat juga dibantu dengan cairan saline yang hipertonik untuk mempercepat penyerapan.

3. Laserasi
    Bila laserasi sedikit ( < 1 cm) dapat diberi antibiotika untuk membatasi kerusakan. Daya regenerasi epitel konjungtiva yang tinggi sehingga akan tumbuh dalam beberapa hari. Bila > 1 cm dijahit dan diberikan antibiotika.

C. Kornea
1. Erosi Kornea
    Bila pennderita mengeluh nyeri, photofobi, epifora, blefarospasme, perlu kita lakukan pemeriksaan pengecatan fluorescein. Bila (+) berarti sebagian kornea tampak hijau yang berarti ada suatu lesi atau erosi kornea. Pengobatan dengan bebat mata dan diharapkan 1 - 2 hari terjadi penyembuhan. Bila erosi luas maka perlu tambahan antibiotika.
2.  Edema Kornea
    Dapat berupa edema yang datar atau edema yang melipat dan menekuk ke dalam masuk ke membran bowman dan descemet. Pengobatan dengan bebat mata dan antibiotika, kadang-kadang diperlukan lensa kontak untuk melindungi kornea pada fase penyembuhan.

D.  Bilik Mata Depan
1. Hifema
    Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar. Merupakan keadaan yang gawat. Sebainya dirawat, Karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat daripada perdaran primer, yang biasanya timbul hari kelima setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap, sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam bilik mata depan, dapat menghambat aliran aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimnbulkan galukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk ke dalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan pada hifema adalah : glaucoma sekunder, uveitis dan hemosiderosis atau imbibisio kornea. Hifema dapat sedikit dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokuler normal. Perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan, dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit oleh glaukomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh bilik mata depan rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena tekanan intraokulernya bertambah pula.
    Pengobatan: Harus masuk rumah sakit. Istirahat ditempat tidur dengan elevasi kepala 30 – 45 derajat. Kepala difiksasi dengan bantal pasir dikedua sisi, supaya tak bergerak. Keadaan ini harus dipertahankan minimal 5 hari. Pada anak-anak mungkin harus diikat tangan dan kakinya ditempat tidur. Kedua mata ditutup, atau dapat pula mata yang sakit saja yang ditutup. Beri salep mata, koagulansia. Bila terisi darah segar, berikan antifibrinolitik, supaya bekuan darah tak terlalu cepat diserap, untuk memberi kesempatan pembuluh darah menyembuh, supaya tak terjadi perdarahan sekunder. Pemberiannya tak boleh melewati 1 minggu, karena dapat mengganggu aliran humor aquos, menimbulkan glaucoma dan imbibisio kornea. Dapat diberikan 4 kali 250 mg transamic acid. Selama dirawat yang perlu dipehatikan adlah hifema penuh atau tidak, tekanan intraokuler naik atau tidak, fundus terlihat atau tidak.Hifema yang penuh dengan kenaika intra okuler, perlu pemberian diamox, gliserin yang harus dinilai dalam 24 jam. Jika tekanan intraokuler tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, dilakukan parasentese. Jika tekanan menjadi normal, diamox tetap diberikan dan dinilai setiap hari. Bila tekanan ini tetap normal dan darah masih terdapat sampai hari ke 5 – 9,dilakukan parasentese. Bila terdapat glaukoma yang tak dapat dikontol dengan cara diatas, maka dilakukan iridenkleisis, dengan merobek iris, yang kemudian diselipkan diantara insisi korneo skleral, sehingga pupil tampak sebagai lubang kunci yang terbalik.

E.  Iris
1.  Iridoplegi
    Merupakan kelumpuhan otot sfinter pupil sehingga pupil menjadi midriasis. Iridoplegi ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfinter dan pemberian roboransia.

2.  Iridodialisis
    Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak kepinggir letaknya, pada pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris tempat iridodialisa. Pada pemerisaan oftalmoskop terdapat warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan reflek fundus.Pengobatan dapat dicoba dengan midriatika, sehingga pupil menjadi lebar dan menekan pada akarnya. Istirahat ditempat tidur. Mata ditutup. Bila menimbulkan diplopia, dilakukan reposisi, dimana iris dikaitkan pada sclera.

F.  Pupil
1. Midriasis
    Disebabkan iriodoplegi, akibat parese serabut saraf yang mengurus otot sfingter pupil. Iridoplegi ini dapat terjadi temporer 2 – 3 minggu, dapat juga permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu ini mata terasa silau. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

G. Lensa
1. Dislokasi Lensa
    Dislokasi lensa terjadi karena ruptura dari zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat kedepan dapat pula ke belakang. Bila tak menimbulkan penyulit glaucoma atau uveitis, dibiarkan saja, dengan  memberi koreksi keadaan refraksinya. Baru dilakukan ekstraksi lensa bila kemudian timbul penyulit glaucoma, uveitis dan katarak, setelah glaucoma dan uveitisnya diredakan dahulu.

2.  Katarak Traumatika
    Katarak ini timbul karena gangguan nutrisi. Ada macam-macam katarak traumatika yaitu  vosius ring, berbentuk roset(bintang), dengan kapsula lensa yang keriput. Pengobatan tergantung saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia dapat dipasang lensa intraokuler primer atau sekunder. Pada katarak trauma bila tidak terjadi penyulit dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaucoma, uveitis dan lai sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa.

H. Badan Kaca
1. Perdarahan Badan Kaca
    Darah berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat perdarahan didalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi, untuk mengetahui keadaan dibagian posterior mata.
    Pengobatan dapat diberikan koagulansia per oral atau parenteral disamping istirahat di tempat tidur. Tindakan operatif vitrektomi, baru dilakukan bila setelah 6 bulan dilakukan pengobatan, masih terdapat kekeruhan, untuk  memperbaiki tajam penglihatan.

I.  Retina
1. Edema Retina
    Edema retina biasanya didaerah polus posterior dekat macula atau di perifer. Tampak retina dilapisi susu. Bila terjadi di macula, visus sentral terganggu dengan skotoma sentralis. Dengan istirahat, edema dapat diserap dan refleks fovea tampak kembali. Untuk mempercepat penyerapan dapat disuntikkan kortison subkonjungtiva 0,5 cc 2 kali seminggu.

2.  Ruptura Retina
    Robekan pada retina menyebabkan ablasi retina = retinal detachment. Umumnya robekan berupa huruf V didapatkan di daerah temporal atas. Melalui robekan ini, cairan badan kaca masuk ke celah potensial di antara sel epitel pigmen dan lapisan batang dan kerucut, sehingga visus dapat menurun, lapang pandang mengecil, yang sering berakhir kebutaan, bila terdapat ablasi total.
    Pengobatan harus dilakukan segera, dimana prinsipnya dilakukan pengeluaran cairan subretina, koagulasi ruptura dengan diatermi.

3.  Perdarahan Retina
    Dapat timbul bila trauma tumpul menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk perdarahan tergantung lokalisasinya. Bila terdapat dilapisan serabut saraf tampak sebagai bulu ayam, bila tampak lebih keluar tampak sebagai bercak yang berbatas tegas, perdarahan di depan retina mempunyai permukaan yang datar di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam  di lapangan penglihatannya, kalau banyak masuk kedalam badan kaca dapat menutup jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.
    Pengobatan dengan istirahat di tempat tidur, istirahat mata, di beri koagulansia, bila masuk ke badan kaca diobati sebagai perdarahan badan kaca.

J.  Sklera
1. Robekan Sklera
    Kalau robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak di bagian atas.

K.  Nervus Optikus
1.  Avulsi Papil saraf Optik
    Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan.Penderita ini perlu dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

2.  Optik Neuropati Traumatik
    Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik.
    Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan  pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
    Pengobatan adalah dengan merawat penderita pada waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.

K.  Enoftalmus
    Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon yang menyelubungi bola mata di luar sclera atau disebabkan fraktura dasar orbita. Oleh karena itu harus dibuat foto rontgen dari tulang tengkorak. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama masih terdapat edema. Gejalanya : penderita merasa sakit, mual, terdapat diplopi pada pergerakan mata keatas dan ke bawah. Saraf infra orbita sering rusak dan penderita mengeluh anesthesia pada kelopak mata atas dan ginggiva.
    Pengobatan : operasi, dimana dasar orbita dijembatani dengan graft tulang kartilago atau badan aloplastik.

L.  Eksoftalmos
    Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber berasal dari A. Oftalmika beserta cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur perdarahan diserap kembali, juga diber koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan souffles, berarti ada aneurisma antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus.
    Pengobatan : pengikatan pada a. karotis sisi yang sama.
II.    Trauma mekanik Tajam
    Pada trauma mekanik tajam ada baiknya diberi anestesi lokal, supaya pemeriksaan dapat dilakukan dengan teliti dan pada luka-luka yang hebat, yang dapat menimbulkan prolaps dari isi bola mata. Serum antitetanus harus diberikan pada setiap luka akibat benda tajam.

A.  Palpebra
    Kalau pinggiran palpebra luka dan tak diperbaiki, dapat menimbulkan koloboma palpebra akwisita. Bila besar dapat akibatkan kerusakan kornea oleh karena mata tak dapat menutup dengan sempurna. Oleh karena itu tindakan harus dilakukan secepatnya. Kalau tidak kotor dapat ditunggu sampai 24 jam. Pada tindakan tersebut harus diperbaiki kontinuitas margo palpebra dan kedudukan bulu mata. Jangan sampai menimbulkan trikiasis. Bila robekan mengenai margo inferior bagian nasal, dapat memotong kanalikuli lakrimal inferior, sehingga air mata tak dapat melalui jalan yang seharusnya dan mengakibatkan epifora. Rekanalisasi dapat dikerjakan secepatnya, bila ditunggu 1 –2 hari sukar untuk mencari ujung-ujunng kanalikuli tersebut.

B.  Konjungtiva
1.  Perdarahan
    Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
2.  Robekan
    Bila kurang dari 1 cm tidak dijahit, diberikan anestesi lokal. Bila lebih dari 1 cm dijahit denga benang cut gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap jahitan. Diberikan antibiotika lokal selam 5 hari dan bebat mata  untuk 1 - 2 hari.

C.  Kornea
1.  Erosi Kornea
    Penatalaksanaan seperti rudapaksa tumpul.
2.  Luka Tembus Kornea
    Dari  anamnesa didapatkan teraba nyeri, epifora, photofobi  dan blefarospasme. Pada pemeriksaan didapat tes fluorescein (+).
    Pengobatan: tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan dijahit. Jaringa intraokuler yang keluar dari luka, missal: badan kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan dalam bolamata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk  menghindari terjadinya fistel melalui bekas jahitan. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang terdekat. Tindakan ini dapat dianggap dapat mempercepat epitelialisasi. Diberikan antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva. Atropin tetes 0,5 – 1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah cukup lebar. Bila ada tanda-tanda glaucoma sekunder dapat diberikan tablet. Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat diberika bila perlu.

3.  Ulkus Kornea
    Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi sekunder. Dari anamnesa teraba nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan nampak kornea yang edema dan keruh dan tes flurescein (+).
    Pengobatan dapat diberikan antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjuntiva,  scraping atau pembersihan jaringan nekrotik secara hati-hati bagian dari ulkus yang nampak kotor, aplikasi panas, cryo terapi.

D.  Sklera
1.  Luka Terbuka atau Tembus
    Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva nampak jaringan hitam (koroid).
    Pengobatan: sama dengan luka tembus pada kornea. Bila luka sangat besar dan diragukan bahwa mata tersebut masih dapat berfungsi untuk melihat, maka sebaiknya dienukleasi untuk menghindarkan timbulnya oftalmia simpatika pada mata yang sehat.

E.  Badan Siliar
1. Luka pada Badan Siliar
    Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan terbesar dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis, yang dapat berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Oleh karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps isi bola mata sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya dilakukan enukleasi bulbi supaya mata yang sehat masih tetap baik.

F.  Bilik Mata Depan
    Penatalaksanaan sama denga trauma tumpul.

G.  Iris
1. Iritis
    Sering akibat dari trauma. Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan didapatkan pupil miosis, reflek pupil menurun dan sinekia posterior.
    Pengobatan dapat diberikan Atropin tetes 0,5 – 1% 1 - 2 kali selama sinekia belum lepas dan antibiotika. Diberikan diamox bila ada komplikasi glaukoma.

H.  Lensa
1.  Dislokasi Lensa
    Penatalaksanaan sama dengan trauma mekanik tumpul.
2.  Katarak
    Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

I.  Segmen Posterior
    Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

J.  Luka dengan Benda Asing (Corpus Alienum)
    Pemeriksaan yang teliti secara sistimatis sangat diperlukan untuk dapat menentukan adanya, macamnya, lokalisasi dari benda tersebut.
1.  Anamnese :
Terutama pada penderita yang bekerja di perusahaan, dimana benda logam memegang peranan. Harus ditanyakan apa pekerjaannya dan benda asing apakah kiranya yang masuk ke dalam mata.
2.  Pemeriksaan :
Benda asing tersebut harus dicari secara teliti maemakai penerangan yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca diman perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi, foto rontgen, ultrasonografi, pemerisaan dengan magnet, dan coronal CT Scan. MRI merupakan kontra indikasi untuk benda logam yang mengandung magnet.
    Benda asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa kelompok:
1. Benda logam, seperti emas, perak, platina, timah hitam, besi tembaga.
     Terbagi menjadi benda logam magnit dan bukan magnit.
2.  Benda bukan logam, seperti batu, kaca, bahan tumbuh-tumbuhan, bahan pakaian.
3.  Benda inert, yaitu benda yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan reaksi jaringan mata, kalau terjadi reaksipun hanya ringan saja dan tidak mengganggu fungsi mata. Contoh: emas, platina batu, kaca, dan porselin.
4.  Benda reaktif : terdiri dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata sehingga mengganggu fungsi mata. Contoh : timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga, bulu ulat.
    Pengobatan yaitu dengan mengeluarkan benda asing tersebut. Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal.Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul atau tajam.Arah pengambilan adalah dari tengah ke tepi.Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable atau giant magnet. Kemudian diberi antibiotika lokal, sikloplegik dan mata dibebat. Pecahan besi yan terletak di iris, dapat dikeluarkan dengan dibuat insisi di limbus, melalui luka ini ujaung dari magnit dimasukkan untuk menarik benda tersebut, bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi dari iris yang mengandung benda asing tersebut. Pecahan besi yang terletak di dalam bilik mata depan dapat dikeluarkan dengan magnit pula seperti pada iris. Bila letaknya di lensa juga dapat ditarik denga magnit, sesudah dibuat sayatan di limbus kornea, jika tidak berhasil dapat dilakukan pengeluaran lensa denga cara ekstraksi linier pada orang muda dan ekstraksi ekstra kapsuler atau intrakapsuler pada orang yang lebih tua. Bila lokalisasinya di dalam badan kaca dapat dilakukan pengeluaran dengan magnit raksasa, setelah dibuat sayatan dari skera. Bila tidak berhasil atau benda asing itu tidak magnetik dapat dikeluarkan dengan opersai viterektomi. Bila benda asing itu tidak dapat diambil harus dilakukan enukleasi bulbi untuk mencegah timbulnya oftalmia simpatika pada mata sebelahnya.

PENUTUP :
    Trauma mekanik mata merupakan keadaan darurat mata, karena dapat terjadi bermacam-macam kerusakan yang bila tidak segera mendapat pertolongan dapat mengakibatkan penurunan fungsi mata atau berakhir dengan kebutaan.
    Oleh karena itu alangkah baiknya kelak sebagai dokter umum juga waspada akan akibat rudapaksa ini dan segera menanggulanginya, mana yang dapat diobati sendiri dan mana yang harus dirujuk.
DAFTAR PUSTAKA

Nana Wijana : Ilmu Penyakit Mata, pp 312 – 323

Vaughn D et all : General Ophthalmology, Lange Medical Publication, 14th ed, 1989, pp 356 – 363

Sidarta Ilyas : Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 266 – 278

»»  READMORE...

Askep trauma tembus pada mata

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat kelompok ini terdiri dari :
1)    Palpebra
Dari luar ke dalam terdiri dari: kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot, tarsus, vasia dan konjungtiva.
Fungsi dari palpebra adalah untuk melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan bola mata.
2)    Rongga mata
Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di dalamnya seperti: urat saraf, otot-otot penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah 
3)    Bola mata
Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan menjadi:
-    Otot-otot penggerak bola mata
-    Dinding bola mata yang teriri dari: sclera dan kornea. Kornea kecuali sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar.
-    Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan fungsinya masing-masing
4)    Sistem kelenjar bola mata
Terbagi menjadi dua bagian:
-    Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata
-    Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva ke dalam rongga hidung

B. DEFINISI
Trauma tembus pada mata adalah suatu trauma dimana seluruh lapisan jaringan atau organ mengalami kerusakan.

C. ETIOLOGI
Trauma tembus disebabkan benda tajam atau benda asing masuk kedalam bola mata.

D. TANDA DAN GEJALA
1)    Tajam penglihatan yang menurun
2)    Tekanan bola mata rndah
3)    Bilikmata dangkal
4)    Bentuk dan letak pupil berubah
5)    Terlihat adanya ruptur pada corneaatau sclera
6)    Terdapat jaringan yang prolapsseperti caiaran mata iris,lensa,badan kaca atau retina
7)    Kunjungtiva kemotis

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.    Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada bilik mata depan, lensa, retina.
b.    Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat “scanning” dari organ tersebut.

F. PENATALAKSANAAN
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata, maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan untuk kegiatan pembdahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan dan segera dikirim ke dokter mata. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul karena terdapatnya benda asing intraokular adalah indoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ftisis bulbi.

G. PATOFISIOLOGI
    Trauma tembus pada mata karena benda tajam maka dapat mengenai organ mata dari yang terdepan sampai yang terdalam. Trauma tembus bola mata bisa mengenai :
1)    Palpebra
Mengenai sebagian atau seluruhnya jika mengenai levator apaneurosis dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen
2)    Saluran Lakrimalis
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dai pungtum lakrimalis sampai ke rongga hidung. Hal ini dapat menyeabkan kekurangan air mata.
3)    Congjungtiva
Dapat merusak dan ruptur pembuluh darah menyebabkan perdarahan sub konjungtiva
4)    Sklera
Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekana bola mata dan kamera okuli jadi dangkal (obliteni), luka sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan bola mata, bola mata menjadi injury.
5)    Kornea
Bila ada tembus kornea dapat mengganggu fungsi penglihatan karena fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea menyebabkan iris prolaps, korpusvitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat menurunkan visus
6)    Uvea
Ila luka dapat menyeabka pengaturan banyaknya cahay yang masuk sehinggan muncul fotofobia atau penglihatan kabur
7)    Lensa
Ila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga menurunkan daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena daya akomodasi tisak adekuat.
8)    Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada rongga badan kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang dalam badan kaca bisa juga teri oblaina retina.
























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN  TRAUMA TEMBUS PADA MATA

PENGKAJIAN
Hal – hal yang perlu diperhatikan:
a. Bagaimana terjadinya trauma mata
 Tanggal, waktu dan lokasi kejadian trauma perlu dicatat. Hal ini perlu untuk mengetahui apakah trauma ini terjadi pada waktu seseorang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari. Perlu juga ditanyakan apakah alat-alat yang digunakan waktu terjadi trauma, apakah penderita waktu menggunakan kacamata pelindung atau tidak, kalau seandainya memakai kacamata, apakah kacamata itu turut pecah sewaktu terjadinya trauma.
b. Menentukan obyek penyebab trauma mata.
Menanyakan secara terperinci komposisi alat sewaktu terjadinya trauma. Apakah alat berupa paku, pecahan besi, kawat, pisau, jenis kayu, bambo dll. Perlu juga ditanyakan apakah alat tersebut berupa benda tajam atau tumpul, atau ada kemungkinan bercampurnya dengan debu dan kotoran lain.
c. Menentukan lokasi kerusakan intra okuler.
Untuk menentukan lokasi kerusakan pada mata, perlu diketahui jarak dan arah penyebabnya trauma mata, posisi kepala, dan arah penderita melihat pada waktu terjadi trauma.
d. Menetukan kesanggupan sebelum trauma.
Pada pengkajian ditanyakan apakah ada penyakit mata sebelumnya, atau operasi mata sebelum terjadi trauma pada kedua matanya. Perlu ditanyakan apakah perubahan visus terjadi secara tiba-tiba atau secara berangsur-angsur sebagai akibat ablasio retina, atau vitrium hemorrage.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Ansietas  b/d  faktor fisiologis, perubahan status kesehatan: adanya nyeri;kemungkinan /kenyataan kehilangan penglihatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh: ketakutan, ragu-ragu.menyatakan masalah perubahan hidup.
Hasil yang diharapkan
Tampak rileks dan melaporkan ansetas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
Tindakan / Intervensi
Kaji tingkat ansetas, derajat pengalaman nyeri / timbulnya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
Berikan informasi yang akurat dan jujur.
Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan penglihatan tambahan. Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan. Identifikasi sumber / orang yang menolong.

2. Gangguan Sensori Perseptual : Penglihatan b/d gangguan penerimaan sensori / status organ indera. Lingkungan secara terapetik dibatasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh: menurunnya ketajaman, gangguan penglihatan. Perubahan respon biasanya terhadap rangsang.
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi – pasien akan :
Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.
Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
Mengidentifikasi / memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
Tindakan / Intevensi
Mandiri
Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.
Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain di areanya.
Observasi tanda – tanda dan gejala-gejala disorientasi: pertahankan pagar tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anestasia.
Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh sering, dorong orang tedekat tinggal dengan pasien.
Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata dimanan dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.

4. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d Prosedur invasif
Kemungkinan dibuktikan oleh : [tidak diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual]
Hasil Yang Diharapkan/ Kriteria Evaluasi Pasien Akan :
Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen, eritema, dan demam.
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi
Tindakan/intervensi:
Kaji tanda-tanda infeksi
Berikan therapi sesuai program dokter  
Anjurkan penderita istirahat untuk mengurangi gerakan mata
Berikan makanan yang seimbang untuk mempercepat penyembuhan

Mandiri
Diskusikan pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh/mengobati mata.
Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam keluar dengan bola kapas untuk tiap usapan, ganti balutan.
Tekankan pentingnya tidak menyentuh/menggaruk mata yang dioperasi.





















DAFTAR PUSTAKA

 Prof.Dr.Sidarta Ilyas .  Penuntun ilmu penyakit mata.  Jakarta; FK UI. 1993
 Dr.Waliban. Dr Bondan Hariono.  Oftalmologi Umum Jilid Satu Edisi 11; Jakarta 1992
 Drs Med  Parmono. Diagnosa Pengelolaan dan Prognosa Trauma Tembus pada Mata, Jakarta; EGC. 1987
 Marilynn E. Doenges,Mary Frances Moorhous,Alice C . Geissler, Rencana Asuhan Keperawatan  Edisi 3 ,Cetakan I: Jakarta. EGC 2000





 









Pathway :


Trauma Tembus

Nyeri
Fotopsia
Akomodasi tdk adekuat
Penurunan refraksi
Perdarahan
Gangguan Penglihatan
Luka
Cemas
Nyeri
Perdarahan
Penurunan visus
Ggn fokus sinar pd retina
Prolaps pd iris
Ggn pengaturan cahaya
Prolap jar. Bola mata
Penurunan Tekanan Bola Mata
Cemas
Conjunctiva
Ruptur Pembuluh darah
Sindroma kekurangan air mata
Levator apaneurosis
Ptosis
Palpebra
Retina
Kornea
Lensa
Uvea
Sklera
Sal. Lakrimalis

»»  READMORE...

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA THORAX (PENUMOTHORAX/HEMATOTORAX) DENGAN PEMASANGAN BULLOW DRAINAGE

I. KONSEP DASAR
A.    Pengertian
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.

B.     Anatomi
1.      Anatomi Rongga Thoraks
                  Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi  oleh :
        - Depan         : Sternum dan tulang iga.
        - Belakang     : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
        - Samping      : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
        - Bawah        : Diafragma
   - Atas           : Dasar leher.
Isi :
ò        Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
ò Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).


untuk mendownload askep lengkap klik disini
»»  READMORE...