HENDRA AGUS SETYAWAN (HAS)Kampanye
empat pilar kebangsaan terus digemakan. Salah satunya seperti terpasang
di kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (23/6/2011).
Kampanye empat pilar kebangsaan yang meliputi Pancasila, UUD 45, NKRI,
dan Bhineneka Tunggal Ika tersebut bertujuan untuk membumikan kembali
paham kebangsaan yang saat ini meredup. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
23-06-2011
Oleh Masdar Hilmy
KOMPAS.com
- Sesungguhnya tantangan paling nyata Islam di negeri ini adalah faktor
keterjarakan dari episentrum kelahirannya di Jazirah Arab.
Pola
relasi Islam Arab-Islam Indonesia ini sering kali dipersepsikan sebagai
pola relasi pusat-pinggiran, yakni pusat bertindak sebagai produsen dan
pinggiran sebagai konsumen; pusat sebagai yang autentik dan pinggiran
sebagai yang terdegradasi atau terdevaluasi; pusat sebagai imam
sementara pinggiran sebagai makmum. Pola relasi semacam ini tidak lain
adalah sebentuk patrimonialisme ideologis-religius yang memandang Islam
Indonesia dalam posisinya yang inferior, kelas dua.
Pandangan
semacam ini sebenarnya merugikan Islam Indonesia dalam peta konfigurasi
Islam dunia karena Islam di negeri ini cenderung ditempatkan dalam
posisi tak penting serta diragukan kapasitasnya untuk menghasilkan modus
keberagamaan yang autentik. Padahal, keberadaan Islam Indonesia yang
lebih moderat, damai, dan toleran merupakan realitas empiris-historis
tak terbantahkan.
Mestinya, fakta lebih berbicara ketimbang kata-kata. Realitasnya, Islam Indonesia belum sepenuhnya menjadi trendsetter
bagi komunitas Muslim di belahan dunia lain. Parahnya, tidak sedikit
kalangan internal umat Islam yang ”mencemooh” dirinya sendiri dengan
menganggapnya tidak autentik dan, oleh karena itu, perlu dimurnikan.
Artinya, mereka tidak percaya diri dengan modalitas keberagamaan yang
dimiliki selama ini.
Tiga modalitas
Harapan dan optimisme Islam Indonesia sebagai produsen atau trendsetter keberagamaan
alternatif bagi komunitas Muslim dunia sebenarnya bukanlah lamunan
kosong ataupun mimpi pada siang bolong, terutama jika kita melihat
sejumlah modalitas yang ada. Bahwa Islam Indonesia telah
mempertunjukkan fitur-fitur keberagamaan yang distingtif merupakan
kenyataan yang tak terbantahkan.
Sebanyak 204 juta Muslim
dilahirkan dan tinggal di negeri ini, membentuk 12,5 persen dari total
1,6 miliar pemeluk Islam di dunia. Sebuah angka yang—semestinya—cukup
signifikan dalam menggerakkan pendulum peradaban Islam dunia. Ini
merupakan modalitas pertama Islam Indonesia yang belum banyak
diapresiasi oleh komunitas Muslim dunia. Pertanyaan yang mesti
direnungkan: bagaimana bisa Islam dianut oleh sedemikian banyak penduduk
dalam waktu relatif singkat (enam abad)?
Islam Indonesia juga
terbukti telah melahirkan modus keberagamaan yang moderat, damai,
toleran, terbuka, dan ramah lingkungan. Memang di sana-sini masih
dijumpai letupan konflik dan perlawanan bawah tanah, tetapi jumlahnya
tak signifikan dibandingkan dengan aspirasi mayoritas umat Islam di
negeri ini. Bandingkan dengan wajah Islam di belahan dunia lain (baca:
Timur Tengah) yang jauh berbeda; tiada hari tanpa konflik dan kekerasan
berdarah. Sebuah realitas keberagamaan yang jelas tak dikehendaki
terjadi di sini. Inilah modalitas kedua Islam Indonesia yang telah
teruji sejarah, tetapi—lagi-lagi—masih dilihat sebelah mata.
Modalitas
ketiga adalah tradisi kesarjanaan yang pernah membentuk diskursus
keislaman tingkat dunia. Islam di negeri ini pernah melahirkan ulama
berkaliber internasional, seperti Imam Nawawi al-Bantani dan Mahfudz
al-Tirmisi, yang karyanya beredar di belahan dunia lain, seperti di
kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Khazanah pemikiran keagamaan di
Indonesia juga telah melahirkan Begawan-cum-ilmuwan kontemporer seperti
Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Keterjarakan
sebenarnya tak serta-merta menyebabkan terjadinya degradasi dan
devaluasi kualitas keberagamaan Islam Indonesia. Sebaliknya,
keterjarakan justru dapat meruangkan artikulasi dan eksperimentasi
keberagamaan secara kreatif dan produktif guna melahirkan eksemplar
keberagamaan alternatif yang lebih progresif, transformatif, dan
kontekstual.
Dirintis sembilan wali (Wali Sanga), Islam di negeri
ini tumbuh dan berkembang menjadi sebuah hibriditas keberagamaan ”baru”
yang terbukti dapat berdialog dan kemudian bersenyawa dengan unsur
budaya lokal. Persenyawaan ini bukanlah sebuah kekalahan Islam di satu
sisi dan kemenangan Jawa (baca: Indonesia) di sisi lain. Namun, inilah
cara Islam untuk meng-”ada” di tanah yang jauh dari episentrum
kelahirannya tanpa harus mereduksi inti keberagamaannya. Meminjam Erich
Fromm (1964), modus keberagamaan Wali Sanga adalah modus ”menjadi” (to be), bukan ”memiliki” (to have).
Modus keberagamaan semacam ini ditandai pencarian eksistensial yang
tak pernah bertepi. Kulminasi beragama dalam koteks ini adalah ketika
seseorang berhasil merayakan kemenyatuan di antara pesan-pesan eternal
Islam ke dalam lokalitas sosial-budaya yang wadag.
Konsekuensinya,
seseorang dapat menjadi Muslim dengan nyaman tanpa harus membuang
identitas kelokalannya masing-masing. Artinya, seseorang bisa ”menjadi”
Muslim yang utuh tanpa harus membuang kejawaannya, kemelayuannya,
kesundaannya, kebatakannya, kebanjarannya, kebugisannya, dan
seterusnya.
Dengan demikian, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan semacamnya adalah struktur permukaan (surface structure) yang tidak akan menggerus apa pun dari inti keberagamaan (deeper structure)
seorang Muslim. Keduanya, dalam perspektif ”menjadi”-nya Erich Fromm
dan Wali Sanga, membentuk sebuah persenyawaan yang sah dan autentik.
Dalam
konteks ini, keberterimaan Islam Indonesia terhadap empat pilar
(Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) tidak semestinya
dipersepsikan sebagai modus keberagamaan yang terdegradasi,
terdevaluasi, atau tidak autentik. Dalam konteks itu pula, dikotomi
religius-nasionalis tidak lagi relevan karena keduanya telah terjadi
sublimasi. Seseorang bisa dan boleh menjadi kedua-duanya sekaligus!
Dus, kategori parpol Islam dan parpol sekuler tidak bisa dipertahankan
lagi sebab di antara keduanya tidak ada lagi penanda yang membuat
keduanya berbeda secara signifikan.
Jalan panjang untuk ”menjadi”
Namun,
menjadi Islam Indonesia bukanlah proses mudah dan sekali jadi. Ia
merepresentasikan sebuah perjalanan eksistensial panjang nan berliku.
Sering kali di tengah jalan diganggu gerombolan ”pengacau” yang
terobsesi dengan cara beragama ”memiliki”, yakni cara beragama
replikatif-verbatim, tanpa mengindahkan dimensi kesejarahannya.
Modus keberagamaan yang ramah, toleran, dan moderat ala NU dan Muhammadiyah, dalam banyak hal, adalah continuum
belaka dari modus keberagamaan ”menjadi” ala Wali Sanga. Kita berutang
banyak kepada kedua ormas ini dalam membentuk Islam di negeri ini.
Berkat keduanya, Islam Indonesia jadi entitas keberagamaan autentik
yang tak tereduksi hanya karena faktor keindonesiaannya.
Hanya ketika Islam Indonesia semakin ”menjadi”, ia akan bertindak sebagai trendsetter bagi
dunia Islam lainnya. Semoga Islam Indonesia semakin ”menjadi”. Inilah
refleksi kecil perhelatan Annual International Conference on Islamic
Studies Ke-12 yang diselenggarakan IAIN Sunan Ampel di Surabaya, 5-8
November lalu.
Masdar Hilmy Dosen dan Asisten Direktur Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Sumber :
Kompas Cetak