Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial, pola pendidikan
orangtua kepada remaja tidak berubah. Informasi tentang kesehatan
reproduksi dan seksualitas masih tabu untuk dibicarakan. Akibatnya,
remaja justru mendapat informasi salah yang menjerumuskan mereka.
Pekerja kemanusiaan bidang penanggulangan HIV/AIDS, seksualitas, dan narkoba, Baby Jim Aditya, di Jakarta, Selasa (2/4), mengatakan, saat dorongan seksual muncul, remaja tidak punya kemampuan menghadapi. Risiko dan bahaya yang menyertainya pun tidak dimengerti.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007 menyebut, pengetahuan remaja tentang akil balig saja masih terbatas. Mereka umumnya hanya tahu fase itu ditandai dengan perubahan bentuk tubuh.
Hanya 24,4 persen laki-laki umur 15-24 tahun yang tahu mimpi basah sebagai tanda balig. Sementara itu, remaja perempuan rentang umur sama yang tahu menstruasi sebagai tanda balig mencapai 76,2 persen.
Namun, hanya 6,4 persen remaja laki-laki dan 4,9 persen remaja perempuan yang tahu akil balig juga akan disertai meningkatnya dorongan seksual.
Menurut Baby, remaja bukannya tak ingin memahami persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Namun, ketika mereka bertanya kepada orangtua atau guru, mereka menuduh remaja telah melakukan hal-hal yang ingin diketahui. Banyak pula orang dewasa yang langsung mengelak dengan alasan tak ada gunanya remaja tahu hal itu.
Akibatnya, remaja bertanya kepada kawan. Padahal, mereka umumnya mengalami hal sama. Akibatnya, remaja justru mendapat informasi salah.
”Orang dewasa harus memahami kebutuhan remaja, bukan memaksakan pandangannya pada remaja,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sudibyo Alimoeso mengatakan, banyak orangtua menganggap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas justru mendorong anak melakukan seks bebas.
”Padahal, penelitian menunjukkan, makin tinggi pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi, makin tinggi pula kemampuannya menghindari risiko,” ujarnya. Sebaliknya, remaja yang tak tahu justru makin terjerumus dalam dorongan seksualnya.
Menurut Sudibyo, saat ini pusat informasi kesehatan remaja (PIKR) sudah ada di 16.000 sekolah lanjutan tingkat atas dan 400 perguruan tinggi se-Indonesia. Namun, keberadaannya kurang dimanfaatkan siswa. Selain itu, kaderisasi kader PIKR masih lemah sehingga keberlangsungan PIKR terganggu. (MZW)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar