Social Icons

Minggu, 21 April 2013

Tes Rambut Ungkap Risiko Serangan Jantung

Ilustrasi struktur folikel rambut
Tes rambut dapat digunakan untuk menganalisis apakah seseorang mengonsumsi zat-zat kimia tertentu. Namun, fungsi dari tes rambut diperluas untuk menentukan kadar hormon stres, kortisol, terutama pada mereka yang berusia lanjut. Hormon stres yang tinggi dalam tubuh dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.

Menurut para peneliti, tes rambut memiliki keistimewaan dibandingkan tes lainnya. Tidak seperti tes darah yang memberikan informasi kadar hormon stres dalam satu waktu, tes rambut dapat menunjukkan informasi selama beberapa bulan terakhir.

Studi menunjukkan bahwa orang berusia lanjut dengan kadar hormon stres yang lebih tinggi dalam waktu lama memiliki kecenderungan lebih besar untuk memiliki penyakit jantung.

Penulis studi, dr Laura Menenschijin dari Erasmus Medical Center di Belanda, mengatakan, hormon stres yang meningkat merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskular. Faktor ini sama berpengaruhnya dengan tekanan darah tinggi atau lemak perut.

"Karena tes rambut dapat memberikan informasi bagaimana kadar hormon stres berubah seiring waktu, maka tes ini merupakan alat yang lebih baik untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung," tuturnya.

Studi yang dipublikasi dalam Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism ini menganalisis sampel rambut sepanjang 1,2 inci. Sampel diperoleh dari 283 orang yang berusia 65 hingga 85 tahun. Para peneliti kemudian menentukan kadar hormon stres selama tiga bulan terakhir.

Mereka menemukan bahwa orang dengan kadar hormon stres yang tinggi lebih mungkin untuk memiliki riwayat penyakit jantung koroner, stroke, penyakit arteri periferal, dan diabetes.

"Data menunjukkan hubungan yang jelas antara hormon stres dan penyakit kardiovaskular," ujar ketua studi, dr Elisabeth van Rossum, dari Erasmus Medical Center.

Ia menambahkan, perlu adanya studi tambahan untuk mengetahui aturan pengukuran hormon stres sebagai indikator dari penyakit kardiovaskular. Kendati demikian, studi belum dapat menunjukkan hubungan sebab-akibat.


Sumber :
Healthday News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar