Social Icons

Kamis, 29 November 2012

Hujan Diprediksi Munculkan Ribuan Fosil Purba Sangiran


 
KOMPAS/LASTI KURNIA Mulai dari replika hingga fosil tengkorak manusia purba Sangiran hadir di tengah pusat perbelanjaan modern Kota Kasablanka, Jakarta, Kamis (15/11/2012). Selain fosil manusia purba, ditampilkan juga fosil hewan purba dan berbagai peralatan dari masa silam. Koleksi tersebut berasal dari Museum Manusia Purba Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, sebagai upaya memperkenalkan sejarah kepada generasi muda.

KOMPAS.com - Ribuan fosil purba di Sangiran yang masih terpendam di dalam tanah dimungkinkan akan muncul ke permukaan. Hal ini bisa terjadi karena struktur tanah di Sangiran yang mudah tererosi dan patah ketika musim hujan tiba.

"Saat ini fosil yang ditemukan masih sekitar 20 persen, sedangkan sisanya masih terpendam di dalam tanah. Sangat dimungkinkan sekali ketika musim hujan tiba, fosil-fosil ini akan tergali sendiri ke permukaan," papar Kepala Seksi Pengembangan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Rusmulia Ciptadi, di sela-sela acara Pameran Museum Manusia Purba di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (29/11).

Sangiran yang dideklarasikan sebagai situs manusia purba oleh Van Konigswald pada 1934 silam merupakan daerah dengan karateristik tanah yang unik. Tanah Sangiran berasal dari endapan abu vulkanis, material lahar dari Gunung Lawu Purba dan Gunung Merapi Purba.

Ketika hujan, tanah ini mudah tererosi dan membentuk endapan. Saat itulah, fosil-fosil akan terangkat dengan sendirinya ke permukaan. Kekhasan lainnya adalah ketika terangkat di permukaan, fosil-fosil ini masih awet.

Rusmulia menjelaskan, fosil yang terpendam ini tersebar di 22 desa yang mencakup Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah. Fosil ini bisa mencakup manusia, binatang, serta fauna, ditambah dengan alat berburu mereka.

"Penemuan terakhir adalah penemuan kaki gajah. Kami masih menanti penemuan-penemuan berikutnya karena Sangiran tidak akan pernah mati," tambahnya.

Tiga museum baru di Sangiran

Dalam pengembangan situs Sangiran, pada tahun 2014 akan dibangun tiga museum baru di luas area 56 kilometer persegi yang tersebar di 22 desa. Tiga museum ini adalah klaster Dayu (penelitian arkeologi mutakhir), klaster Ngebung (sejarah penemuan), dan klaster Bukuran (history of Java Man).

Budi Sancoyo, Kasubag Tata Usaha Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran menjelaskan, museum ini lebih bersifat khusus dan diharapkan menjadi lokasi penelitian. "Koleksinya yang paling banyak tetap berada di klaster Krikilan atau Museum Purba Sangiran yang jumlahnya mencapai 31 ribu. Sementara itu, di museum khusus tersebut, pengunjung dapat belajar lebih detail tentang evolusi manusia," papar Budi.

Ia menambahkan penemuan fosil-fosil terakhir yang masih terpendam dalam tanah juga akan dimasukkan sesuai dengan karateristik museum khusus. Dengan demikian, pengunjung tidak kesulitan bila ingin melakukan penelitian.

Sementara itu, terkait dengan pameran Museum Purba Sangiran di lima kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar, yang berlokasi di salah satu pusat perbelanjaan, Budi mengaku untuk meningkatkan kecintaan serta wawasan masyarakat terhadap manusia purba.

"Dengan pameran di mal, mereka tidak perlu kerepotan untuk datang ke Sangiran. Kami menilai cara ini efektif karena mal selalu didatangi banyak orang.Selama ini kunjungan ke museum masih sangat kurang," tambahnya.

Salah satu pengunjung, Desi Aiz (20) mengapresiasi positif pameran di pusat perbelanjaan. "Saya belum pernah ke Sangiran dan lewat pameran ini kami menjadi tahu isi museum itu," kata Desi.

Situs Sangiran pertama kali dikenal sebagai situs purbakala sejak tahun 1930-an ketika Van Es memetakan daerah Sangiran. Pada tahun 1934,situs ini dideklarasikan sebagai situs manusia purba oleh Von Konigswald dan tahun 1997 masuk sebagai cagar budaya.

Akhirnya situs ini ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya No.C 593 tahun 1996. Masuknya Sangiran sebagai warisan budaya dunia karena merupakan kunci dan lokasi penting dalam evolusi manusia, fauna, serta lingkungannya selama 2,4 juta tahun lalu tanpa terputus. (Olivia Lewi Pramesti)
 
Sumber :
National Geographic Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar